Mohon tunggu...
Sukari Janto
Sukari Janto Mohon Tunggu... Strategic Analyst, Economist &; Columnist

History Enthusiastic

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menuju Smart City: Birokrasi Berbiaya Murah atau High Connectivity, Mana yang Lebih Urgen?

30 Juni 2025   09:00 Diperbarui: 29 Juni 2025   14:50 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Konsep kota cerdas (smart city) yang belakangan menjadi isu besar di kota-kota besar di seluruh dunia mendorong peran aktif dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kota menggunakan pendekatan citizen-role epicentrum sehingga terjadi interaksi yang lebih dinamis dan erat antara warga dengan penyedia layanan, dalam hal ini adalah pemerintah daerah. Smart city adalah kota yang mampu menggunakan SDM, modal sosial dan infrastruktur telekomunikasi modern untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat (Caragliu, Del Bo dan Nijkmp, 2009). Tingginya partisipasi masyarakat mendorong interaksi dua arah, yakni pemerintah-masyarakat, ini akan terus berkembang dan berproses sehingga nantinya kota akan menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali serta tangguh dalam merespon perubahan dan tantangan jaman serta teknologi baru dengan lebih cepat.

            Smart City dapat didefinisikan pula sebagai sebuah kota yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengelola dan mengintegrasikan berbagai sistem yang ada, termasuk sistem transportasi, energi, air, limbah, akses ke berbagai fasilitas sosial dan kesehatan milik pemerintah daerah, dan lain sebagainya. Tujuan utama dari konsep ini adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan dengan cara yang berkelanjutan dan efisien. Dengan memanfaatkan teknologi, smart city dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada, mengurangi biaya operasional, dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Meskipun, untuk membangun smart city membutuhkan biaya yang tidak kecil.

            Dalam pedoman Sustainable Development Goal nomor 11 (SDG 11), Sustainable Cities and Communities berfokus pada penciptaan kota dan permukiman yang berkelanjutan. Konsep ini bertujuan untuk menjadikan kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Pengembangan konsep kota berkelanjutan tersebut antara lain meliputi pembangunan kota yang terpadu, infrastruktur dan pelayanan perkotaan, serta risiko bencana (banjir, gempa bumi, dan tanah longsor) dan perubahan iklim di perkotaan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai target-target tersebut dijabarkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah.

            Menurut James DeFilippis dan Susan Saegert dalam karya penelitiannya "The Community Development Reader", mengungkap hasil risetnya bahwa keterlibatan masyarakat dapat meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab bersama terhadap program keberlanjutan, memperkuat rasa memiliki, serta menciptakan hubungan yang lebih erat antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lokal. Selain itu, keterlibatan masyarakat mengoptimalkan sumber daya lokal dan inovasi berbasis komunitas yang penting untuk mengatasi tantangan lingkungan dan sosial di tingkat perkotaan. Sehingga, masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat dari pembangunan, tetapi juga sebagai agen perubahan yang berkontribusi dalam menciptakan kota yang inklusif, aman, dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan tujuan SDGs 11 yang menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk mencapai kota dan pemukiman yang berkelanjutan pada tahun 2030.

            Terdapat beberapa karakteristik yang menjadi ciri-ciri smart city (Hao, Lei dan Yan, 2012), yaitu: pertama, interkoneksi antara bagian perkotaan, smart city menggabungkan antara communication network, internet, sensor dan recognition untuk membantu komunikasi antar orang, dengan demikian interkoneksi antara bagian perkotaan akan terwujud. Kedua, Integrasi sistem informasi perkotaan, hal yang berkaitan dengan internet dan cloud computing akan digunakan dalam setiap bidang bisnis dan mengintegrasikan sistem aplikasi, data dan internet menjadi unsur-unsur inti yang mendukung operasi perkotaan dan manajemen. Ketiga, manajemen perkotaan dan kerjasama layanan, interkoneksi komponen perkotaan dan dukungan sistem aplikasi manajemen perkotaan serta layanan dengan koordinasi sistem kritikan perkotaan dan peserta untuk membuat menjalankan perkotaan terbaik. Keempat, aplikasi ICT (Information and Communication Technology) terbaru, smart city teori manajemen kota modern sebagai panduan yang menekankan penerapan teknologi informasi canggih ke manajemen perkotaan dan pelayanan, sehingga memotivasi pemerintah, perusahaan, dan orang-orang untuk membuat inovasi, gerakan pembangunan perkotaan.

Bagaimana dengan Indonesia?

            Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kompleksitas urbanisasi, konsep smart city menawarkan solusi untuk menciptakan kota yang lebih efisien, aman, dan nyaman bagi warganya.

Di Indonesia, inisiatif smart city telah mulai diterapkan di beberapa kota besar. Penerapan Internet of Things (IoT) yang inheren dengan manajemen dan tata kelola smart city menjadi tak terhindarkan lagi. "Gerakan Menuju Smart City" yang dicanangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2017 lalu menjadi elemen penting karena diperkirakan 83 persen masyarakat Indonesia pada tahun 2045 akan tinggal di kota, sehingga perlu perencanaan tata kota yang cerdas untuk membantu mengatasi potensi masalah.         

            Pada tahun 2024 lalu, Institute Management and Development (IMD) mengungkap hasil survei yang menyajikan bahwa Jakarta masuk dalam lima smart city terbaik di Asia Tenggara yang berada di peringkat 103 dari total 142 kota dunia yang masuk survei Smart City Indeks (SCI) 2024. Empat kota dari negara negara lainnya yakni Singapura pada peringkat ke-5, Kuala Lumpur berada di peringkat 73, disusul Bangkok di urutan 84, kemudian Hanoi pada peringakat 97. Selain kota Jakarta di Indonesia, SCI mencatat ada kota lain seperti Medan dan Makassar. Masing-masing menduduki peringkat 112 dan 114. Presiden Smart City Observatory Bruno Lanvin mengatakan laporan tahunan SCI berguna bagi pemerintah kota untuk membangun kota masa depan yang tangguh dan mampu beradaptasi terhadap perubahan zaman serta memberikan pedoman dan gambaran bagaimana inovasi dan pengembangan kota-kota masa depan.

            Hasil survei IMD mencerminkan tingkat dinamika manajemen tata kota yang amat berguna sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan ke depan. Adapun tiga kota Indonesia yang masuk dalam survei tersebut adalah Jakarta, Medan, dan Makassar. Masing-masing menduduki peringkat 103, 112, dan 114 dari total 142 kota dunia yang di survey pada IMD SCI 2024. Laporan ini diharapkan bisa membantu para pengambil kebijakan pengembangan smart city di Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Jakarta, Medan, dan Makassar.

Berdasarkan survei IMD terhadap warga Jakarta yang mengidentifikasi tiga permasalahan utama yang perlu segera mendapat tindak lanjut pemerintah daerah: polusi udara 68,4%, kemacetan lalu lintas 66%, dan korupsi 51,7%. Sebaliknya, responden menyatakan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap kemudahan mengakses jadwal dan membeli tiket angkutan umum secara online skor 83,2, menjadwalkan layanan kesehatan secara online skor 81,1, dan mengakses portal pencarian kerja online skor 81.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun