Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Puncak Kecewa Adalah Ketika Ingin Menangis Tapi Tidak Bisa

4 Juli 2025   14:45 Diperbarui: 4 Juli 2025   22:25 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang tengah kecewa (Pexels/Nathan Cowley) 

Ada sebuah rasa yang begitu pahit dari ditinggalkan, lebih sunyi dari sebuah kesepian, lebih hampa dari sebuah kehilangan. Ia muncul secara diam-diam, merayap seakan asap yang tak kasat mata namun begitu kuat untuk mengaburkan pandangan. Rasa itu bernama "Kecewa" dan yang paling menyakitkan ialah kecewa itu kita tujukan kepada diri sendiri.

Pernahkah kamu merasakan sudah melakukan segalanya? Bangun lebih awal dari biasanya, menyiapka segala hal dengan rapi dan terstruktur, mencoba untuk konsisten, menekan segala ego, mengurangi waktu istirahat, bahkan harus merelakan segala kesenanga yang dulu akrab. Lalu, ketika hasilnya tak sesuai dengan apa yang kamu harapkan, kamu hanya bisa diam. Ingin menangis, tapi air mata tak keluar. Bukan karena tidak sedih, namun karena rasanya sudah terlalu lelah tubuh dan jiwa mu untuk mengekspresikan segala kesedihan itu. Ya itulah puncak dari rasa kecewa

Kecewa Paling Dalam Adalah Kecewa Pada Diri Sendiri

Saat orang lain mengecewakan kita, kita masih punya sebuah ruangan untuk mengungkapkan rasa marah, menyalahkanya, atau bahkan memutuskan hubungan. Tapi saat kita kecewa namun sumber kekecewaanya ialah diri sendiri, kita kehilangan ruang pelarian itu. Kita tidak bisa mengekspresikan segala ras emosi itu, baik marah, menyalahkan, atau bahkan hanya untuk menangis. Kita tidak bisa lari dari tubuh kita, tidak bisa menghilang dari kepala kita. Tidak bisa juga menghindari suara hati kecil kita yang terus saja bertanya: "Kenapa kamu gagal lagi?"

Kecewa pada diri sendiri terasa bak digigit dari dalam. Rasa perihnya tidak langsung terasa, namun pelan-pelan melumpuhkan semangat. Kita mulai mempertanyakan harga dari segala perjuanga, semua pengorbanan, dan semua waktu yang kita piker akan memberikan hasil yang memuaskan.

Perjuangan Tak Selalu Langsung Membawa Kemenangan

Ada sebuah mitos yang nyatanya terlalu sering kita percaya: bahwa kerja kerasa pasti akan membuahkan sesuatu yang manis. Bahwa selama ini kita berjuang dengan sungguh-sungguh, maka akan hasil baik yang datang. Mitos ini begitu manis nan legit untuk didengar, akan tetapi sering kali membuahkan hasil yang kejam dikenyataan.

Faktanya, dunia ini tidaklah bekerja secara instan. Kadang sebuah perjuangan hari ini baru akan membuahkan hasil setelah lewat bertahun-tahun kemudian, dan lebih seringkali lagi hadir dengan cara yang lebih tidak terduga diluar angan-angan kita. Kita dipaksa untuk tetap bersabar, tapi tidak pernah sekalipun diajari untuk bagaimana caranya menerima hasil yang jauh dari harapan kita.

Dan sialnya lagi, hidup masih akan terus berputar, tak diberi kesempatan untuk menunggu kita redah dari rasa berduka. Tagihan akan tetap datang, kerjaan akan tetap menumpuk, dan orang-orang akan tetap bertanya kabar seolah semuanya baik-baik saja. Kita sedang patah, tapi tetap harus bekerja. Kita sedang kecewa, tapi tetap harus membalas email. Kita sedang hampa, tapi tetap harus senyum di depan rekan-rekan kerja.

Tangisan yang Tertahan adalah Simbol Luka yang Dalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun