Di sebuah kafe kecil di Yogyakarta, seorang mahasiswa filsafat bernama Lintang sedang membaca buku tipis tentang Socrates. Matanya berhenti pada satu kalimat yang membuatnya terdiam sejenak, lalu tersenyum simpul. "Menikahlah. Kalau mendapatkan istri yang baik, kamu akan bahagia. Kalau tidak, kamu akan menjadi bijak."
"Lucu juga ya, filsuf besar kok bisa sejenaka ini," gumam Lintang. Di meja sebelah, seorang bapak paruh baya yang rupanya mendengar ikut menyahut, "Nak, itu bukan sekadar lucu. Itu nasihat paling realistis yang pernah ada."
Begitulah Socrates---ia bukan hanya bicara tentang etika atau logika, tapi juga soal hal-hal yang amat manusiawi. Bahkan, pernikahan.
Pernikahan Menurut Socrates: Antara Surga dan Sekolah Kehidupan
Socrates hidup di abad ke-5 SM, jauh sebelum kata relationship goals jadi tren di media sosial. Namun, ucapannya tentang pernikahan terasa abadi. Ia melihat pernikahan sebagai jalan dua arah: bahagia bersama pasangan yang baik atau belajar bijak dari pasangan yang penuh tantangan.
Bahagia atau bijak---dua-duanya adalah keuntungan.
Kutipan ini sebenarnya menyiratkan pandangan filosofis: pernikahan bukan sekadar cinta, tapi ruang belajar tentang kesabaran, pengendalian diri, dan keutuhan jiwa. Socrates seolah ingin menegaskan bahwa setiap pernikahan, baik yang mulus maupun berliku, menyimpan makna berharga.
Relevansi di Era Modern
Jika menengok statistik, angka perceraian di Indonesia pada 2024 mencapai lebih dari 447 ribu kasus (data BPS). Angka ini melonjak dibandingkan satu dekade lalu. Konflik rumah tangga modern---dari masalah finansial, komunikasi, hingga burnout emosional---sering jadi penyebab utama.
Di sinilah ucapan Socrates terasa relevan. Pernikahan, dalam bentuk apa pun, selalu menghadirkan "hadiah": kebahagiaan atau kebijaksanaan.