Bioprospeksi adalah proses pemanfaatan sumber daya hayati, termasuk genetik dan materi biologis, untuk tujuan komersial. Melalui tahapan riset, identifikasi, hingga komersialisasi, bioprospeksi mendukung pembangunan bioekonomi dan pelestarian biodiversitas. Dengan kolaborasi lintas sektor dan pengelolaan kawasan konservasi, bioprospeksi berpotensi mendorong inovasi produk, meningkatkan kesejahteraan, dan mendukung keberlanjutan ekonomi serta ekologi seperti yang menjadi skema bioekonomi," ujar Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M,S, Guru Besar Ilmu Pelestarian Alam dan Pembinaan Margasatwa Fakultas Kehutanan IPB.
Dia berharap FGD ini menjadi momentum strategis untuk mempercepat pengembangan bioekonomi Indonesia berbasis bioprospeksi, sekaligus mendukung visi Indonesia Emas 2045.
"Indonesia harus berani menjadi pemimpin dalam bioprospeksi global, tidak hanya sebagai pemasok bahan mentah, tetapi juga sebagai inovator produk hayati berkelanjutan," pungkas Prof. Alikodra.
Sementara Prof. Dr. Dedy Darnaedi, M.Sc., Peneliti Pusat Kajian Tumbuhan Tropika Universitas Nasional (UNAS), menyoroti pentingnya pemanfaatan sumber daya hayati secara berkelanjutan.
"Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, tetapi kondisinya tidak sedang baik-baik saja. Deforestasi yang masif dan konversi lahan menyebabkan kepunahan spesies dan erosi genetika yang mengancam keberlanjutan ekosistem," tegas Prof. Dedy.
Ia menyebutkan bahwa antara tahun 1990 hingga 2018, Indonesia telah kehilangan sekitar 33–34 juta hektare hutan. Hal ini berdampak pada rusaknya habitat flora dan fauna, serta berkurangnya kapasitas alam dalam menyediakan oksigen dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Menurut Prof. Dedy, bioekonomi menjadi solusi konkret untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ia menekankan perlunya mengintegrasikan kearifan lokal (Indigenous Local Knowledge) dan ilmu pengetahuan modern dalam pemanfaatan sumber daya alam. "Kearifan lokal harus diapresiasi, bukan hanya sebagai pengetahuan tradisional, tetapi juga sebagai sumber inovasi dalam pengembangan produk berbasis hayati," jelasnya.
Sementara Abdon Nababan, mitra Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA), menegaskan pentingnya penguatan ekonomi berbasis komunitas adat melalui BUMMA.
BUMMA diinisiasi sebagai lembaga ekonomi yang mengelola kekayaan masyarakat adat di wilayah adatnya dengan prinsip keberlanjutan dan kemandirian ekonomi. Pembentukan BUMMA melibatkan 11 langkah, mulai dari menemukan pelopor hingga pengurusan legalitas. Di Papua, BUMMA dibentuk di tingkat suku, dengan Suku Namblong dan Mare sebagai model awal.
Abdon mengungkapkan bahwa masyarakat adat di Indonesia, khususnya di Tanah Papua, masih menghadapi tantangan besar, mulai dari pemiskinan struktural, perampasan hak atas tanah, hingga kerusakan ekosistem yang mengancam keberlanjutan hidup mereka.