Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ancaman Mas Darsan

20 Juli 2021   16:16 Diperbarui: 21 Juli 2021   22:13 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lima orang sasaran lagi hendak dituju Mas Darsan. Bensin dsisi penuh. Sepeda motor pun berputar-putar dari satu alamat ke alamat lain. Demi menyukseskan perayaan Idul Adha di desanya. Juga demi membantu kerja pengurus DKM. Tapi kesia-siaan kembali ditemuinya.

Mas Darsan pulang loyo, bensin motor kembali kosong. Hasil nol besar. Ada-sada saja alasan orang. Kang Surip menolak dengan dalih usahanya remuk. Pakde Kawir malah ingin utang duit pada Mas Darsan untuk bisa berkurban. Sasmito bin Truno mau berkurban bila dalam waktu dekat tanahnya terjual.

*

Bebarapa hari lalu Mas Darsan mendapat kepastian proyek yang hendak dikerjakannya batal. Itu artinya keuntungan yang diharapkan ada di tangan untuk membeli domba pun hilang.

"Malu, Bu. Sudah terlanjur janji pada Pak Surakib. . . . . !" keluh Mas Darsan kepada isterinya. "Apa kira-kira yang dapat kita jual untuk bisa membeli domba, Bu?"

Isteri Mas Darsan tidak menyahuti. Tiba-tiba saja pergi meninggalkan suaminya. Di ruang tengah Dwiko, si bungsu, menangis.


Lantaran geram, kecewa, dan marah memuncak, tanpa sadar Mas Darsan spontan dan tanpa sadar mengucap kata-kata ancaman: "Biar kusembelih kamu nanti. . . . . !"

Entah siapa sasaran amarah itu. Ngeri bila betul hal itu terjadi. Siang sehari sebelum Idul Adha, di tengah suasana orang berpuasa Arofah, Mas Darsan mengasah golok yang dimiliknya. Ia perhatikan betul ketajaman mata golok.

Jelang maghrib Pak Surakib datang. Menagih janji. Mas Darsan tidak mau berterus terang. Ia berkilah belum ada domba yang cocok untuk dibelinya.

"Ohh, begitu? Ya, nggak apa-apa. Kalau hari pertama Tasrik belum bisa menyembelih. Masih ada hari kedua atau ketiga. . . . !" jawab Pak Surakib lalu cepat-cepat pamit. Tampak betul rona kecewa pada wajahnya.

Pukul sepuluh malam Mas Darsan mengeluarkan sepeda motor. Sangat pelan, tak ingin membuat gaduh. Saat itu Rukmi isterinya sudah terlelap. Ia angkat Dwiko dari pembaringan, lalu dipeluknya agar tidak terbangun. Anak usia enam tahun itu tersadar sebentar, lalu tidur lagi. Pelan-pelan Mas Darsan keluar rumah, menstater sepeda motor, dan pergi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun