Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Keluarga Besar, Makan Setampah Bertujuh, dan Ketuk Sahur Koko'o

1 Mei 2021   23:35 Diperbarui: 1 Mei 2021   23:49 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi makan bersama dalam satu tampah/nampan - islam.bangkitmedia.com

Mereka makan bersama. Satu tampah untuk 5 sampai 7 orang. Dengan cara itu petugas yang menyiapkan makanan lebih cepat dan mudah. Sisi kebersamaan dan kesederhanaan tampak sekali dalam kehidupan mereka.

Pernah satu kali saat bertugas peliputan penulis makan dengan cara itu. Ya, pada saat berbuka puasa pada sebuah pesantren di pesisir Jabar. Satu tumpah untuk empat orang. Ada nasi dengan kuah santan ala masakan Timur Tengah. Lauknya hanya sepotong daging sapi cukup besar, lengkap dengan tulangnya. Penulis berinisiatif membuat garis dengan jari pada nasi. Itu sebagai batas bagian masing-masing. Sambil makan kami tertawa-tawa merasakan pengalaman baru.  

*

Terkait dengan kata "tradisi" dalam sahur (sebagai tema tulisan "Samber" hari ini), rasanya paling tepat untuk urusan membangunkan orang untuk sahur. Tiap daerah punya kebiasaan sendiri-sendiri. Bisa berbeda, atau mirip-mirip. Peran mereka hanya satu: membangunkan orang tidur.

Ada satu kawasan di Gorontalo yang tradisi unik. Kegiatan membangunkan orang sahur mereka sekaligus menyatukan warga dua wilayah. Saat malam di bulan suci Ramadan, Warga Kelurahan Talumolo dulu selalu terlibat tawuran dengan warga Kampung Bugis.

Berbagai cara mendamaikan mereka dilakukan. Hingga akhirnya didapat kata sepakat. Warga dua kampung berdamai. Peristiwa itu mereka rayakan dengan  bersama-sama melakukan ketuk sahur yang diberi nama Koko'o.

Masih mengenai malam Ramadan, dulu tahun 1970-an ada kebiasaan saling lempar mercon dan petasan. Mereka, anak-anak-muda yang berdomisili kampung-kampung sekitar Malioboro - Yogyai.  

Tidak ada sebab-musabab, dan rasanya sekadar seru-seruan. Kelompok anak muda sebelah barat jalan melawan kelompok anak muda sebelah timur. Aneka jenis petasan digunakan, dan salah satu yang paling popular saat itu petasan dengan gagang lidi. Bila sumbunya dinyalakan dapat melesat ke arah sasaran, belasan meter, baru meledak.

Riuh, ramai, dan seru. Tetapi tidak sempat menjadi tawuran, biasanya pihak keamanan segera menghalau kelompok-kelompok pemuda itu. Penulis sebagai penonton saja. Sebab sayang uang, was-was juga kalau sampai celaka gara-gara cari sensasi keseruan malam Ramadan.

*

Nah, itu saja. Sepengetahuan penulis tentang tradisi sahur. Dari pengalaman dalam keluarga, cerita orang tentang sahur di pontren, hingga kebiasaan ketuk sahur. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a'lam. ***

Sekemirung, 1 Mei 2021 / 19 Ramadan 1442
Sugiyanto Hadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun