Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dinasti Politik dan Sorotan pada Sosok Gibran

9 Agustus 2020   22:09 Diperbarui: 9 Agustus 2020   22:02 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pilkada serentak 2020 - www.tribunnews.com

Jelang pilkada serentak 2020 perbincangan mengenai politik terus menghangat. Salah satunya mengenai dinasti politik. Ada yang menyebutkan sah-sah saja sepanjang tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku. Ada pula yang menyayangkannya, dilihat dari sudut pandang kepantasan, etika, dan praktik berdemokrasi.

Daftar panjang dapat dibuat mengenai siapa dan dari anggota keluarga mana yang menjadi sorotan dalam hal itu. Nama Gibran salah satunya. Nama-nama lain dapat disebut dalam daftar panjang. Para pengamat politik hafal belaka nama-nama maupun analisisnya. Bahkan juga para politisi, praktisi, akademisi, dan si-si yang lain (entah sebagai independen maupun partisan) dapat mengukur mereka.

Ada pengamat yang sangat cermat, sebaliknya tak sedikit yang terpaksa cermat karena kepentingan tertentu di balik predikat yang tersemat atasnya. Mudahnya begini, tak sedikit akademisi yang kemudian berkiprah pada bidang politik praktis, dan kemudian berhasil menjadi bagian dari pelaku politik (di lembaga eksekutif maupun legeslatif, tingkat pusat maupun daerah) sehingga setiap pengamatannya bermuatan tertentu.

Ada yang berpendapat, dinasti politik dikaitkan dengan warisan feodalisme politik masa lalu terasa kurang tepat. Bila sebutan "masa lalu" itu terkait dengan masa Orde Baru tentu berbeda. Saat itu tidak ada pemilihan langsung. Pemilih yaitu anggota dewan yang konon mewakili rakyat. Sedangkan partai dari pemerintah yang berkuasa ya itu-itu saja, partai politik lain ibaratnya sebagai penggembira saja. Pilihan anggota dewan sudah dapat "diatur" sedemikian rupa sehingga tidak pernah ada kejutan.

Tentu saja saat itu sistem berpolitik negeri ini pun sudah demokrasi. Ya, demokrasi dengan segenap variannya, sehingga demikian yang terjadi.

Nah, sekarang tidak lagi bisa seenaknya seperti itu. Boleh saja si calon pimpinan pusat/daerah masih terkait darah dengan Presiden, Gubernur, atau Bupati/Walikota yang sedang menjabat, tetapi pilihan di tangan rakyat. Setiap warga yang mempunyai hak pilih dapat berpikir jernih-kritis-rasional untuk menentukan pilihan sendiri secara bebas. Ada tentu soal atur-mengatur dan upaya kecurangan lain, tetapi tidak semasif dan intensif pada masa lalu.

Itu sebabnya ada saja petahana yang kalah dengan wajah baru. Ada saja calon yang diunggulkan yang saat berkampanye habis-habisan (dan menghalalkan secara cara) untuk menang.

Dengan kata lain, klaim dinasti politik kurang elok dan tidak etis, atau apapun sebutannya, tak lebih dari bagian dari kampanye pihak lawan untuk melemahkan "si dinasti" yang bakal maju bersaing. Artinya, cara itu pun sah-sah saja asalkan tidak disertai tindakan yang melanggar hukum.

*

Adanya dinasti politik sudah merupakan kenyataan hari ini. Nah, tinggal bagaimana sekarang para pengamat, akademisi, politikus, dan masyarakat luar mencari sisi terbaiknya untuk dimasyarakatkan. Ya, masyarakat harus tahu betul (kenal bahkan akrab) pada sosok yang bakal bersaing dalam pilkada pada tiap-tiap daerah penyelenggara pilkada. Petuah lama masih berlaku, jangan membeli kucing falam karung. Cermati secermatnya.

Anak presiden sekali pun kalau tidak pantas menjawab ya jangan di pilih. Apalagi hanya anak Wapres, Gubernur, Bupati/Walikota. Jangan tertipu, terhipnotis, dan silau pada jabatan bapaknya, pamannya, suami/isterinya, dan seterusnya. Dan yang lebih penting juga jangan tergiur pada janji kampanye yang wah dan mewah. Karena banyak calon pimpinan yang tidak cukup paham mengenai tata pemerintahan ketika menjabat sebagai kepala daerah.

Yang pertama dinilai tentu saja sifat jujur, cakap, dan amanah. Sosok yang disebut sebagai pada aktor dinasti politik harus mampu membuktikan diri tiga hal itu. Sekadar contoh, ada satu provinsi yang beberapa kepala daerahnya ditandai merupakan satu keluarga besar tokoh masyarakat di sana. Bila kemudian terbukti sosok-sosok itu masih juga menang maka kredibilitas partai politik yang mengusung maupun para pemilihnya yang perlu dipertanyakan. Dan terbukti belakangan, beberapa diantara pejabat daerah tersebut yang tidak jujur, dan harus menjadi penghuni penjara. Ini salah satu contoh gagal. Namun, dalam kurun waktu yang sama tidak sedikit sosok lain yang tidak berstatus dinasti politik yang berlaku culas dan tidak jujur pula.

*

Politik dinasti itu satu hal, dan keberhasilan mereka (bila kelak memang menang) menjadi hal lain yang bisa terkait, atau tidak sama sekali. Tidak ada seorang pun yang dapat memprediksi hal itu bila mana para pejabat di sekeliling mereka (eksekutif, legeslatif, maupun yudikatifnya) juga orang-orang pilihan (jujur, cakap, amanah).

Namun, memang tidak mudah mengelola pemerintahan warisan dari pemerintahan lalu yang tidak ideal dalam segala bidang itu. Tidak mudah. Hal itu dibuktikan dengan adanya orang jujur yang harus dikucilkan, mundur/dimundurkan, atau mendapatkan perlakukan tidak baik.

Satu hal lagi, meski selangkah dan dengan gerak sangat lambat mudah-mudahan proses demokratisasi negeri ini sudah para jalur yang benar. Sebab bahkan ada negeri yang mengaku diri sebagai paling jagoan dalam berdemokrasi pun tetap punya celah untuk tidak demokratis. Artinya, proses pemilihan para kepala daerah harus baik, sehingga dihasilkan kepala darah yang terbaik pula. Bila seorang kepala daerah pada masa pemerintahannya berlaku curang dan tidak jujur, kemudian berurusan dengan hukum; maka sebenarnya parpol pengusung, pejabat di sekitarnya, maupun masyarakat pemilihnya tidak cukup memadai dalam peran mereka masing-masing.

Terakhir, bila kelak Gibran (dan sejumlah nama yang terlanjur dicap menganut paham dinasti politik) terpilih (baca menang) tetapi dalam perjalanannya "ambyar", maka segeralah dibuat satu aturan hukum tambahan terkait pilkada/pilpres bahwa "praktik dinasti politik itu haram".

Gibran dan Bobby (terkait dengan Jokowi sebagai Presiden) menjadi sorotan untuk dinilai. Mereka belum tentu menang. Namun, bila pun harus menang belum tentu ambyar. Siapa tahu mereka justru memadai dalam hal memenuhi kriteria jujur, cakap, dan amanah?

Setidaknya itulah yang saya pamahi.  Lebih dan kurangnya mohon maaf. Wallahu a'lam. ***

Sekemirung, 9 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun