Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tahukah Tuan, ke Arah Mana Jalan Pulang?

22 Juni 2020   13:18 Diperbarui: 22 Juni 2020   13:26 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesanan kami datang. Nona Ana memandangi saja makanan di meja yang berkepul, dengan aroma menggugah selera itu.

"Tetapi kenapa harus saya yang menjawab, Nona? Haruskah? Apa urusan saya? Suamimu itu bukan saudara saya, bukan pula kenalan saya. Kenapa harus saya yang repot?"

Setelah beberapa saat termenung dan terdiam, agaknya emosi Nona Ana mereda. Cantik sebenarnya ia, tapi pusat dan kusut. Wajah dan pandangannya. Kami melahap makanan kami dengan riang.

Di tengah makan enak itu, tiga orang lelaki mendatangi saya. Merubung saya dan Nona Ana. Mengamati sebentar, lalu yang tubuhnya paling berotot bicara lirih kepda dua temannya: "Jadi lelaki ini selingkuhan Nona Ana. Kurang ajar. Kita habisi saja ia. . . . . !"

Dengan paksa saya digusur ke luar restoran. Saya dinaikkan ke sebuah mobil minibus. Beberapa menit setelah mobl melaju, sebuah pukulan keeras di tengkuk membuat saya pingsan seketika. Dan entah berapa lama saya tak sadar diri, mungkin semalam, atau berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.

Saya tersadar sudah berada di kota lain pada suatu petang di kota yang asing. Tubuh terasa letih, mata berkunang-kunang, mengigil kedinginan, dan kepala sangat pusing. Penampilan saya mirip gelandangan dan orang tidak waras. Tidak ada sesuatu pun melekat pada tubuh saya kecuali celana dalam kumal.

Saya tidak dapat berpikir jernih apa saja yang telah hilang dari tubuh saya. Bukan hanya dompet dengan isinya, arloji tangan, smartphone, dan cincin pertunangan, melainkan juga organ tubuh. Entah. Pikiran saya hanya pulang, ingin segera pulang.

Lalu saya termangu-mangu di pinggir kota itu. Ketika seorang lelaki muda berjalan mesra dengan pasangannya di depan saya, spontan saya bertanya: "Tahukan Tuan, ke arah mana jalan pulang?"

Lelaki muda itu menoleh, mengerutkan kening, lalu bicara lirih kepada pasangannya seraya mempercepat langkah. "Di kota ini makin banyak saja orang stres dan putus-asa. . . .!" ***

Cibaduyut, 22 Juni 2020 / 30 Syawal 1441

 Baca juga tulisan menarik sebelumnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun