Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Terlambat Tapi Selamat

1 November 2018   13:50 Diperbarui: 1 November 2018   16:10 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih pagi Pak Edi Mur sudah ngobrol dengan Mas Bejo di jalan depan rumah mereka. Belum jam enam. Tanah basah oleh hujan semalam, kotor oleh daun-daun belimbing dan rambutan yang rontok. Pak Edi Mur sambil mencuci sepeda motornya. Sedangkan Mas Bejo menyapu dengan sapu lidi halaman yang kotor. Di mana pun bertemu dua lelaki bertetangga itu tak pernah kehabisan bahan untuk ngobrol. Begitu bertemu ada saja bahan diskusi. Kali ini soal pesawat jatuh dengan aneka cerita di sebaliknya.

"Prihatin setiap kali mendengar berita pesawat terbang jatuh ya. . . . ," ucap Pak Edi Mur memulai obrolannya.

"Ya, sangat prihatin, sebab itu berarti semua penumpang tewas. Tidak ada yang bisa diselamatkan," sambut Mas Bejo.

"Kalau saja bisa mendarat darurat masih mungkin ada penumpang yang selamat. Tapi jatuh. Bayangkan pesawat seberat itu.. . . .!" lanjut Pak Edi Mur ketika jongkok membersihkan bagian bawah sepeda motor. "Tidak ada cerita mukjizat seperti dalam kecelakaan kendaraan di darat atau di laut. Dalam musibah kali ini pun tubuh korban tercerai-berai. . . . !"

"Tapi ada yang selamat kok. Diberitakan media.. . . .!"

"Pesawatnya saja terbelah, bagaimana mungkin ada yang selamat? Siapa?" tanya Pak Edi Mur dengan rasa penasaran.


Mas Bejo tertawa. "Orang-orang yang terlambat datang. . . . hahaha!"

"Ohh itu.. . . .," Pak Edi Mur ikut tertawa. "Mereka bukan orang-orang yang selamat dari kecelakaan, tapi terhindar dari kecelakaan."

"Bagaimanapun hal itu bukan sebuah kebetulan. . . .!"

"Mukjizat juga?"

"Mungkin! Sebelum tahu apa yang kemudian terjadi betapa kesal, marah, dan uring-uringan mereka. Tiket hangus, jadwal kegiatan terganggu. Mungkin uang pas-pasan untuk mampu beli tiket lagi .. . . . !" sambung Pak Edi meneruskan obrolannya.

"Baru reda amarahnya, bahkan ganti bersyukur sesudahnya. Itulah cara Allah menghindarkannya dari musibah. . .!"

Pak Edi Mur dan Mas Bejo terdiam. Berpikir sendiri, atau konsentrasi pada apa yang sedang dilakukannya.

"Ya. Itu cara Allah untuk menjadikan kita berpikir tentang kematian yang bisa datang kapan saja. Karena itu kita harus selalu bersiap untuk bekal akhirat. Tidak ada orang terlambat yang beruntung, kecuali terlambat naik pesawat terbang yang ternyata kemudian jatuh. . . .!" ucap Pak Edi Mur dengan aneka perasaan. "Mudah-mudahan black box pesawat segera ditemukan. Misteri penyebab kecelakaan dapat segera terkuak. Ke depan jangan ada lagi kecelakaan seperti itu. . .!"

Ternyata Mas Bejo sudah selesai menyapu, dan masuk ke dalam rumah. Tak lama Pak Edi Mur pun selesai mencuci sepeda motornya.

*

Di dalam rumah Pak Edi Mur menyimak laporan dari sebuah stasiun televisi. Reporter berita melaporkan tentang orang-orang yang terlambat naik pesawat. Ia menyimak betul isi laporan itu.

"Pemirsa, tidak ada orang yang sama sekali tidak pernah terlambat. Erlambat bisa berarti tidak selamat. Anak-anak sekolah yang kerap terlambat dihukum guru, disetrap hingga disuruh push up. Karyawan bisa dihukum berat, diturunkan pangkatnya, atau  dipecat. Terlambat sering mencerminkan sikap dan karakter seseorang yang kurang sigap, perhitungan tidak cermat, atau karena bertindak dan berpikir yang lambat.

 Demikian pun selalu ada kekecualian. Ada orang terlambat justru selamat.

Sony Setiawan misalnya. Tak henti-henti ia bersyukur karena datang terlambat. Pesawat sudah terbang, tapi ia baru datang. Macet parah di jalan tol penyebabnya. Sehingga ia selamat karena terhindar dari menaiki pesawat yang akhirnya jatuh di perairan Karawang, 13 menit setelah pesawat lepas landas dari Bandaran Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Ada beberapa nama lagi yang dikabarkan mengalami hal yang sama, terlambat tapi selamat."

Pak Edi Mur terduduk di kursi ruang tamu ketika Mak Fatmah muncul dan meletakkan cangkir kopi di meja. "Jangan terlambat bayar pajak motornya, Pak. Takutnya didenda lagi seperti tahun lalu. Mumpung ingat, cepat dibayar. . . . !"

"Ya, Mak.  Ingat. Tapi duitnya belum ada, mau dibayar pakai apa?" jawab Pak Edi Mur sambil tersenyum. "Baru sekali terlambat saja sudah diomongi terus. . . .!"

"Baru sekali? Itu seingat bapak saja. Kalau tidak sering-sering Mak ingatkan banyak urusan yang terlambat.. . . .!" jawab Mak Fatmah sebelum melangkah kembali ke dapur.

Untuk tidak mengecewakan isteri, Pak Edi Mur berangkat lebih pagi ke tempat kerjanya. Ia punya bengkel las dan pembuatan aneka perabotan dari besi. Hari ini ia berharap terima sejumlah uang untuk bisa bayar pajak mobil tuanya. Kalau tidak, terpaksa utang. Tiga hari lagi batas akhir pembayaran pajak. Terlambat berarti tidak selamat, didenda.

*

Di lapak lotek dan aneka jajanan di samping pos ronda 'klub banting kartu', Mbak Murwo pun lebih pagi menggelar dagangannya. Seperti biasa, ia bekerja dengan cekatan, trengginas, dan mandiri. Perempuan itu terbiasa mendorong gerobak sendiri, menata meja-kursi dan pasang tenda pun sendiri. Seminggu lalu ia membeli tenda untuk mengantisipasi datangnya musim penghujan.

"Rajin amat, Mbak. . . . !" komentar Mang Oboy yang mengayuh sepeda onthelnya menjajakan tahu keluaran Cibuntu. "Kejar setoran ya?"

"Kejar rupiah. Kalau hanya kejar setoran kapan bisa kaya? Hhheeheh!" jawab Mbak Murwo dengan nada bercanda.

Sepeda Mang Oboy berhenti di depan gerobak. "Betul. Kejar rupiah sampai ke ujung dunia ya. Hari ini perlu berapa potong, Mbak?"

"Lima puluh."

"Cuma lima puluh?"

"Ingat, sekarang musim penghujan. Pelanggan malas datang lantaran takut air hujan!"

"Kecuali kelaparan!"

"Mereka sudah punya banyak stok makanan di rumah! Minimal mie instan dan kopi."

Mang Oboy cepat menghitung tahu yang dipesan, dan menyerahkan kepada Mbak Murwo. "Sudah dengar cerita orang terlambat tapi selamat, Mbak?"

"Penumpang pesawat Lion Air ya?"

"Bukan. . .!"

"Lho? Cerita apa?" seru Mbak Murwo dengan rasa penasaran.

"Ceritaku sendiri. . . . hehehe. Terlambat tapi selamat."

Mang Oboy tertawa sendiri. Tampa diminta ia bercerita tentang kisah cintanya dengan cewek bahenol, namanya Elis, si kembang desa. Gara-gara terlalu lama mencari modal untuk biaya nikah, ia pun terlambat. Orang lain lebih dulu datang melamar, tak lama mereka menikah. Dua tahun pacaran pun kandas. Tapi ternyata si Elis mata duitan betul. Ia selingkuh lantaran tergiur bujukan uang lelaki lain.

"Nah, itu. . . .  !" ucap Mang Oboy mengakhiri ceritanya.

"Terlambat tapi selamat." gumam Mbak Murwo seraya menyerahkan uang kepada Mang Oboy. "Nah, cepat pergi sana. Ibu-ibu pasti sudah menunggu daganganmu. . . .!"

Mang Oboy naik ke sadel sepeda, dan terus mengayuh sepedanya ke selatan. Sesaat kemudian beberapa pelanggan lotek dan aneka gorengan berdatangan. Mbak Murwo tersenyum cerah. Ia cepat-cepat melayani mereka. Hal itu dirasa jauh lebih baik dari pada berlama-lama ngobrol dengan Mang Oboy yang dikenal orang suka ngarang cerita. *** Bdg., 01 Nov 2018

Gambar

Sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun