Mohon tunggu...
Sugiyanta Pancasari
Sugiyanta Pancasari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

"Cerita dan Catatan" Yang tak boleh menua, dilumat usia

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Sapardi dan "mBoel," "Melihat Api Bekerja," dan Bertanya, "Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau"

3 Mei 2021   23:38 Diperbarui: 4 Mei 2021   00:18 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Pada "mBoel," karya Eyang Sapardi DD (Alm), yang berisi 80 sajak tanpa judul ini, meneguhkan bahwa seluruh hidupnya adalah puisi, setiap detik dan detaknya adalah puisi.
Tidak diberi judul lantaran dari nomor satu sampai  80, Sapardi seperti sedang merekam, mencatat, berdialog dan mengabadikannya, tentang apa saja dengan seseorang (perempuan) yang sering disapa sebagai "mBoel".

Saat semua pembaca terkesima dengan "Hujan Bulan Juni" yang telah mengilhami para penulis muda untuk menekuni dunia penulisan puisi, kesederhanaan terlihat mendominasi, namun unsur kejenakaan menjadi warna lain yang memperkaya, membuka ruang bagi pembaca untuk menyibak sisi lain dari penyairnya. Coba kita simak puisi nomor 55.

 aku mencintai
        *puisi
        *tumis bunga
          pepaya
        *kamu
 hore! aku yang terakhir (hal. 80)

Ungkapan mBoel yang menyebut "kamu" (Sapardi), dan disebut terakhir adalah bukti begitu dalamnya cinta, tetapi menggelitiknya, ini seperti disampikan saat Sapardi dan mBoel sedang bercengkerama, entah di dapur, atau mungkin di beranda atau di taman belakang sebagai ungkapan yang tulus, dan tak habis-habisnya diucapkan, sampai tua sampai kapanpun. Dengan cinta yang penuh gelora, kehangatan yang terus terjaga, seperti dilukiskan dalam puisi nomor 44, :

terbakar matamu
ada yang telah membakarnya

aku?
siapa lagi?

oke
aku (hal. 66)

Maka, "mBoel," seolah menjadi cermin, tempat kita berkaca tentang kebersamaan pasangan penyair itu dengan memberikan nuansa yang romantis, hangat dan bersahaja, di setiap momen dalam kehidupan sehari-hari rumah tangganya saat menjalankan aktivitas berdua di rumahnya.
Inilah pembelajaran yang teramat berharga kala kita menjalani adaptasi di tengah pandemi ini.
   
           *****

"Melihat Api Bekerja," dan "Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau," dua buku puisi karya penyair M. Aan Mansyur, yang cukup jauh rentang waktu penerbitannya. Akan tetapi puisi-puisnya tetaplah cara bertutur yang lembut dan santun dengan gaya penulisan yang ritmis dan penuh imaji.

Membaca puisi Aan adalah memperbanyak perbendaharaan pertanyaan-pertanyaan, yang mengantarkan pembaca untuk merenung, menggali lebih dalam, mengasah lebih tajam dan melebarkan lebih luas: hati, pikiran, dan sudut pandang. Bahwa hidup bukanlah soal hitam putih, sebab setiap hari adalah usaha mempertajam kepekaan untuk membaca dunia yang terus berputar mendahului kita.

Larik-larik kata dalam puisi Aan adalah ikhtiar memahami kesadaran dalam diri melalui cerita dan dongeng yang berhasil diciptakan dengan sangat memikat, tentang segala hal di sekeliling kita yang seringkali luput dari perhatian kita, dikarenakan yang berhasil kita baca hanyalah kulit permukaannya saja, tersebab pikiran kita terlalu dangkal, dan tangan kita terlalu pendek untuk menjangkaunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun