Puisi Sugiyanta Pancasari
menembus tajam garis hujan, dingin segera menyergap seperti kenangan, memanggil-manggil diantara gemuruh suara, tetapi sunyi yang tiada henti menyiksa
biarpun demikian, ada yang terasa begitu lapang jika segala yang kutempuh selalu menyisakan jalan pulang
dan kembali kepada diri sendiri, adalah perjalanan terpanjang dan bahkan tidak kutemui siapapun kecuali rumah-rumah kehampaan
kakiku melangkah seringan bayang-bayang seolah telah kubuang beban yang bergantung di pundak layang-layang
tak ada tempat terbaik selain bilik-bilik kosong dan aroma kembang membentangkan getar wewangian dan gelombang pasang tempat layar kita terbuka dan mengembang
dan seburuk-buruknya cahaya adalah sebaik-baik sorot mata, jika itu memancar dari kedua bola matamu yang bulat bundar
serasa dingin kedua pipimu, hingga aku buram berkaca, diantara gambar-gambar beku melawan segala keraguan
Jogja, Desember 2020