Tiba-tiba dari kejauhan nampak iring-iringan orang banyak yang mengantarkan jenasah yang akan dikebumikan. Tanpa diduga, dia berkata, “Guido lihat tuh... orang begitu banyak mengantarkan jenazah. Kamu orang yang paling dekat dengan saya, saat ini. Tapi nanti, ingat, kamu tidak akan mengantarkan saya waktu saya mati.” Deg... saya seolah tertonjok tepat pada ulu hati. Cepat saya membalas.
“ Ah.. Pastor ini... mana mungkin itu terjadi!”
Ternyata pembicaraan itu membuat saya menangis di kemudian hari. Memang ketika dia wafat di Klaten pada tanggal 16 Juli 1973 secara mendadak, saya sedang ada kasus jual beli rumah di Sayati. Waktu itu, saya tidak dapat meninggalkan kota Bandung. Setelah beberapa tahun kemudian, dengan diantar oleh karyawan Keuskupan yang pulang ke Klaten, saya dan keluarga bisa mengunjungi makamnya.
Kami bermalam di rumah keluarga dari adiknya yang tinggal tidak jauh dari jalan raya di Klaten. Sebuah rumah yang besar, dan hampir seluruh bangunan terbuat dari kayu jati. Pada pintu-pintu utamanya terdapat ukiran cukup megah. Kebutuhan makan dan segala keperluan disediakan oleh keluarga saudaranya. Jadi singkatnya keluarga Rama Oejoed itu tergolong keluarga kaya.
Keesokan harinya kami diantar ke tempat tujuan kami. Di tengah-tengah perkebunan tebu yang sangat luas, ada sebuah kuburan keluarga besar dari Keluarga Priyayi (keluarga terhormat). Hal itu nampak jelas dari bentuk bangunan kuburan yang bagus-bagus dan berkelas. Pada hampir semua kuburan ada tulisan bahasa Jawa kuno. Ternyata semua omong kosong di Mohamad Toha Bandung hanyalah ketidaksukaan segelintir orang yang waktu itu hidupnya kebelanda-belandaan. Saya menyebut mereka Londo-londo ireng.
Bersimpuh di samping pemakamannya, mengalir kembali kenangan lama. Suatu hari kami bertemu di sebuah teras depan kamarnya. Ada meja kecil segi enam dan dua buah kursi menghadap ke SD. Yos Sudarso. Di tempat itulah saya pernah bertanya kepadanya, “Kalau Rama nanti pensiun rumah seperti apa yang ingin Rama harapkan?“
“Saya ingin mempunyai rumah kecil, yang di depannya ada sungai kecil. Di sana tumbuh pohon Yang Liu yang cabang-cabangnya berjuntai ke bawah. Kalau kamu?”
“Saya ingin mempunyai rumah yang ada lotengnya”. Waktu itu saya masih mengontrak di sebuah gang sempit, yaitu Gang Emong IV. Ternyata obrolan tersebut untuk Rama Oedjoed di bumi ini tidak menjadi kenyataan. Beliau mendapatkan yang lebih baik, lebih indah: Temboknya terbuat dari permata yaspis; .. lantainya terbuat dari emas tulen, bagaikan kaca murni. “Yerusalem baru”. (Why. 21:18). Saya sendiri pada akhir tahun 1968 mendapatkan rumah baru di Jalan Sawah Kurung I. Setelah direnovasi ada lotengnya. Kemudian dia mendapat tugas baru di St. Odilia, Cicadas Bandung Timur. Setelah dia di Odilia, saya pun mengunjunginya seperti semula. Hubungan kami Bapa dan anak tetap akrab, bahkan lebih baik lagi. Rama Oedjoed adalah contoh pendoa yang tulus.
Suatu hari saya diminta datang hari Minggu setelah perayaan ibadat di gereja, tapi tidak dengan istri. Saya bertanya, “Ada apa Pastor?”
“Datang ke sini! Ajari saya naik motor!”
“Wah... hebat itu!” Ketika saya datang sesuai janji, dia sudah ada di depan Pastoran dan sebuah sepeda motor Honda bebek merah ada di sampingnya. Kebetulan di samping Gereja sampai ke gedung Pastoran, jalannya lurus dan cukup panjang. Dengan memegangi bagian belakang motor mulailah “kursus” naik motor. Sesekali diselingi tawa dan canda. Hanya beberapa kali datang dia sudah mahir mengendarai motor, dan sudah berani keluar dari Pastoran. Waktu itu jalanan di sana belum semrawut seperti sekarang.