Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surga yang Hilang (2)

23 Mei 2016   18:28 Diperbarui: 23 Mei 2016   18:40 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pelabuhan ratu | sumber gambar: bandung.panduanwisata.id

kita menyambutnya sang pahlawan

dengan bunyi-bunyian terompet dan suling.                                                                                                                                                                                                                                      

Perahu, untuk mancing sangat berbeda. Perahunya lebih kecil dan tidak dibuat dengan pernak-pernik. Segalanya mirip, seperti layar, penyeimbang dan tiang layar. Warnanya di seragamkan yaitu, hitam. Mereka melaut biasanya setelah sholat maghrib dan pulang dini hari. Jadi saya tidak pernah melihat mereka merapat ke pantai.  Hasilnya sampai siang hari pun masih terlihat yaitu ikan besar, seperti ikan hiu dan lainnya yang sudah dipotong-potong.

Memancing di pantai, waktunya hampir bersamaan dengan menangkap ikan besar. Sesekali saya bisa melihat mereka memancing dengan bambu atau galah jauh ke tengah laut. Yang terlihat hanya kepala dan tiang galah, timbul tenggelam mengikuti ombak. Saya membayangkan bagaimana jika umpannya disambar ikan besar lalu mengangkatnya ke daratan. Jika tidak dengan kearifan mengenal dan bersahabat dengan laut tentu akan ada kesulitan besar. Bukan tidak mungkin, yang memancing dapat terbawa arus laut yang cukup deras.

Yang terakhir namanya “ngabalang”. Ngabalang sepertinya ada waktu-waktu tertentu. Tanda-tanda ada kumpulan ikan  biasanya terlihat dengan jelas warna laut. Di tempat-tempat tertentu air laut berwana lebih biru dalam jarak tidak terlalu jauh dari pantai. Saya pernah mencoba ngabalang beberapa kali, tetapi tidak pernah mendapatkan ikan seekor pun. Karena lemparan saya jauh di bawah sasaran. Keunggulan ngabalang ini terjadi pada bulan-bulan tertentu, yaitu musim “impun”. Impun adalah sejenis ikan teri yang entah dari mana datangnya. Mereka terhampar pada bibir muara kali Cisolok satu kilometer ke kiri dan satu kilometer ke kanan di pinggiran laut.

Masyarakat di sana sudah tahu, dan tiap keluarga punya semacam lambit, yaitujaring halus berukuran satu seperemat meter persegi. Pada musim impun ini ikan-ikan besar di antaranya kakap merah, kerapu, terkadang juga ada ikan hiu pergi ke pinggiran pantai untuk menyantap impun. Nah pada kesempatan ini, yang memancing dengan cara ngabalang ini biasanya akan mendapat hasil yang baik. Kaum ibu yang menangkap impun pun kebagian rejeki yang tidak sedikit. Ada yang mencapai tiga kilo dan tidak jarang ada yang mendapatkan ikan kakap merah yang cukup besar. Impun biasanya dipepes atau dikeringkan dengan dijemur hingga bertahan beberapa hari untuk diolah kembali.


Saya paling suka impun yang dipepes. Rasanya gurih dan empuk. Sayang, musim impun ini hanya terjadi satu atau dua kali dalam setahun. Itu pun hanya diketahui oleh masyarakat di sana dan waktunya selalu jatuh pada saat bulan purnama. Sore hari antara pkl. 5 sore, ibu-ibu sudah mempersiapkan lambit dan  tolok,tempat ikan dari anyaman bambu, 20 Cm x 40 Cm, bundar/lonjong di ujungnya ada anyaman tali untuk diselendangkan. Tolok juga ada yang ukuran kecil untuk anak-anak. Saya juga memilikinya 1 buah. Keanehan alam juga terjadi di sini. Keesokan hari impun-impun di pantai menghilang dengan sendirinya sampai pada musimnya datang kembali.

Saya harus banyak bertanya apa saja yang boleh dan dilarang dilakukan di pesisir, karang, lautan, dan ombak. Pada umumnya penduduk di sana sangat menghargai pada kita yang mau bertanya. Mereka akan menjawabnya dengan sungguh-sungguh dan teliti mengenai apa saja yang harus kita ketahui demi keselamatan kita. Memang ada yang bersifat magis, tapi juga ada yang bersifat teknis. 

Tidak ada salahnya bila kita mengindahkan larangan-larangan, dan melakukan sesuai dengan yang disarankan dengan penuh hormat dan berterima kasih. Membuang pipis, melempar sesuatu, tidak boleh dilakukan di sembarang tempat.  Melewati tempat-tempat tertentu, memasuki guha (gua), berjalan di Karang Hawu,  perlu kita lakuka sesuai nasihat para sesepuh penduduk desa. Berkata-kata kotor, sebaiknya kita hindari.

Semua yang kita lakukan, tidak boleh sembarangan, harus minta izin supaya tidak mengganggu penghuni goib (gaib) yang menjaga di sana yang tidak kita lihat dengan mata, katanya. Dengan melakukan hal-hal ini sepertinya saya tidak merasa percaya pada tahayul atau terbawa dalam aliran tertentu. Saya menganggapnya sebagai rasa hormat pada alam yang menopang kehidupan, yang jutaan tahun telah  berada di sana sebelum kehadiran saya.

Secara teknis, antara lain saya belajar tentang air laut dan kekuatannya. Jika kita menyongsong ombak, itu sesuatu yang tidak mungkin. Ada dua pilihan: pertama,  mengalah, dengan merundukan kepala dan badan ketika ombak akan menghempas melewati kita dan muncul kembali ketika ombak telah lewat. Kedua,  ketika ombak datang, saya harus bersiap menjejakan kaki ke pasir bersamaan dengan gelombang yang datang, begitu gelombang menghempas, saya akan terapung di atas gelombang dan turun bersamaan dengan lewatnya gelombang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun