Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surga yang Hilang (2)

23 Mei 2016   18:28 Diperbarui: 23 Mei 2016   18:40 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pelabuhan ratu | sumber gambar: bandung.panduanwisata.id

Di antara pepohonan yang tinggi dan kokoh, banyak sekali pohon jambu monyet atau jambu mente. Sepanjang tahun jambu itu berbuah lebat dan terhampar begitu saja. Biji-bijinya yang sudah mengering sering terinjak-injak. Kalau dilihat sepintas baik rupa dan warnanya mengundang selera. Ada yang kuning, kemerah-merahan dan harum. Rasanya agak masam, kesat (sepet) meskipun ada juga manisnya.

Buah-buahan lain di sana yang dapat dan enak dimakan banyak sekali. Ada sawo kecik, samolo, mangga udang dan lain lain. Mmang pohonnya tinggi-tinggi. Bagi saya dan teman yang kadang  menemani saya menjelajah hutan, untuk memanjat pohon-pohon itu tidak masalah. Kami terlatih dan belajar dari  kera-kera di hutan yang mencari makanan untuk hidup.

Dari sekian banyak buah-buahan sepertinya buah samolo yang tidak pernah saya temukan lagi di mana-mana. Pohonnya tinggi, buahnya juga banyak. Yang besar hampir menyamai besarnya jeruk bali. Kulit buahnya terbungkus seperti beledu warna coklat. Jika sudah tua dan siap dipetik ada warna kemerahan pada permukaan buah. Jika sudah masak harumnya tercium dari jarak agak jauh. Setelah dikupas isinya terlihat kekuning-kuningan. Biji-bijinya kecil. Rasanya tidak kalah dengan apel Cina. Keahlian saya panjat-memanjat, di kemudian hari dapat menjadi andalan untuk menolong orang.

Pada saat saya melepaskan lelah dan duduk di bawah pohon besar, saya dapat merasakan, Tuhan mengelilingi saya seperti cahaya dan udara, seperti air dan ikan. Tuhan, terasa begitu dekat, walaupun waktu itu saya belum mengenalnya. Dia sudah mengenal saya sedari saya ada dalam kandungan ibu.

Selain sungai, sawah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan kami, lautan, pantai dan pesisirnya,  juga merupakan sumber yang sangat besar potensinya.  Tuhan memberikan kepada penduduk di sana yang hanya mengambil secukupnya dan memelihara kelestariannya. Ada perahu mayang (dayung dan layar) dengan jaring yang sederhana. Ada juga perahu dayung yang lebih kecil. 

Perahu ini khusus untuk memancing ikan-ikan besar. Selain kedua perahu untuk menangkap ikan, ada juga alat pancingan yang dibuat dari bambu yang berukuran panjang empat sampai lima meter, dengan memakai tali dari kawat, dan umpannya ikan mas segar. Ada juga yang menggunakan tali rami yang panjangnya sampai duapuluh meter, ini dinamakan “ngabalang” memancing dari bibir pantai diputar-putar, dilempar dengan pemberat batu dan umpannya sama ikan mas segar.


Cara dan waktu penangkapan ikan berbeda-beda. Perahu mayang biasa melaut dari pantai di antara pukul tiga pagi, dan kembali siang hari. Kadang kedatangan mereka hampir bersamaan, beriringan.

Kami yang menunggu di pantai sangat terpesona. Perahu-perahu itu  memang dibuat sedemikian rupa, gagah, indah, dan mempesona. Ukiran pada bagian hulu perahu yang menjorok ke depan dilengkapi umbul-umbul yang terpancang dan pernak-perniknya, bernilai seni sangat tinggi. Umbul-umbul yang dibuat sangat indah. Warnanya mencolok. Inilah yang membedakan satu perahu dengan perahu lainnya.  Serasi dengan bendera-bendera yang terbentang antara tiang layar sampai keburitan, pengemudi memegangi, menentukan arah. 

Kemudinya  seperti dayung yang cukup besar bisa diputar ke segala arah, untuk memperlambat dan memberhentikan perahu pada titik yang diperlukan. Pada bagian kiri kanan perahu terpasang kayu yang  dibentuk sedemikian rupa menyerupai sepotong jemparing panah yang sangat simitris. Untuk menjaga  keseimbangan perahu menghadapi ombak dengan lengkungan yang indah di sana menempel bambu gombong besar yang sudah  diawetkan.

Ketika perahu itu memecah ombak seakan berdiri. Kemudian melaju menurun dengan derasnya mengikuti ombak dengan kilatan air yang berwarna biru dengan buih-buih putih berhamburan seakan bunga perak yang terurai. Awak perahu berdiri di hulu dengan wajah-wajah gembira, seolah-olah  para pahlawan yang pulang dari medan perang dengan kemenangan besar. Sungguh besar Tuhan dengan segala kedahsyatan segala ciptaan-Nya! 

Saking terkagum-kagumnya, guru kesenian saya, Pak Madturo membuat sebuah lagu yang menjadi favorit saya yaitu  “Umbul-umbulna melengkung” dengan pupuh Kinanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun