Nyata benar, bahwa kekuatan dan kesaktian Nyi Sani dan Mbah Taryan didapat dari konsistensi laku pitu. Seiring dengan berjalannya waktu,nama Nyi Sani jauh lebih kesohor dibandingkan dengan Mbah Taryan. Mbah Taryan sama sekali sudah tidak merasa tersaingi, karena nyatanya Nyi Sani juga sudah menjadi istri yang baik dan menyenangkan bagi dirinya. Keduanya juga sudah bersepakat untuk sepenuhnya mengabdi bagi masyarakat agar tidak terkena penyakit. Beliau berdua ingin agar wejangan laku pitu dilaksanakan oleh semua semua orang, sehingga bisa kuat dan sakti.
Nyi Sani sudah terkenal ke segala penjuru arah mata angin, sehingga banyak masyarakat yang ingin bertemu dan memperoleh wejangan secara langsung dari beliau. Tidak diketahui secara pasti, mengapa Nyi Sani dalam memberikan wejangan selalu berada diatas batu besar itu. Kebetulan di kampung tempat tinggal beliau ada beberapa nama yang panggilannya sama. Ada Sanikem, ada Sanimah, ada Sanirah, ada marSani, dan lain-lain, semuanya dipanggil “ Nyi Sani atau Nini Sani”. Kemudian untuk memudahkah memberi arah tempat tinggal Nyi Sani yang dimaksud kepada para tamu yang mencarinya, maka masyarakat setempat menyebut “Nyi Sani Taryan”. Penyebutan dengan nama itu terasa sangat lazim dan tepat karena Nyi Sani adalah istri Mbah Taryan.
Hampir dipastikan Nyi Sani Taryan selalu mengajak tamunya dan memberikan wejangannya diatas batu besar itu. Akhirnya banyak yang menduga bahwa wejangan laku pitu akan terpatri kuat karena adanya pancaran aura dari batu itu. Lama-kelamaan dengan semakin tua usia Nyi Sani Taryan, tamu yang bertandang ke rumah beliau memanggilnya dengan “Mbah Sani Taryan”. Demikian juga masyarakat sekitar, memanggil beliau juga dengan sebutan yang sama, “Mbah Sani Taryan”. Dalam beberapa kesempatan Mbah Sani Taryan menyatakan bahwa wejangan laku pitu harus di tularkan kepada semua orang. Beliau menyatakan juga bahwa tugas menyebarkan wejangan laku pitu sudah mendekati selesai.
Beberapa hari kemudian, terjadilah berita menghebohkan. Mbah Sani Taryan tiba-tiba menghilang bersama suaminya. Rumah tempat tinggalnya juga mendadak menjadi seperti tanah pekarangan biasa. Memang sebelumnya pernah ada yang mengaku dipamiti oleh Mbah Sani Taryan, yang katanya akan pergi untuk waktu yang sangat lama. Mbah Sani Taryan memang tidak punya keturunan alias tidak punya anak, tetapi suatu ketika pernah berpesan : “Meskipun saya tidak punya anak, tetapi saya akan banyak memiliki cucu. Yaitu siapapun yang belajar dan menyebarkan wejangan laku pitu otomatis menjadi cucu saya. Diantara cucu saya mereka akan saling tertarik dan menikah”.
Sepeninggal Mbah Sani Taryan, beberapa orang yang merasa rindu dengan wejangannya, seringkali mendatangi batu besar yang biasa digunakan oleh beliau. Kesaksian penduduk setempat mengaku melihat orang yang rindu dan sengaja bersemedi di batu besar itu terakhir terjadi pada tahun 1975an. Batu besar yang merupakan bekas (jawa : tilas) tempat favorit bagi Mbah Sani Taryan itu kemudian lebih dikenal sebagai “Watu Petilasan Mbah Sani Taryan”
Barangkali sebuah kebetulan. Awal tahun 80an, areal Watu Petilasan Mbah Sani Taryan ini dipilih oleh Departemen Kesehatan RI sebagai tempat untuk mendidik tenaga Sanitasi. Lama pendidikan saat itu hanya satu tahun. Ilmu yang di ajarkan mirip dengan wejangan laku pitu, yakni penyehatan air, penyehatan makan, penyehatan udara, penyehatan tanah dan sampah, pengendalian vektor dan pemberdayaan masyarakat. Lulusannya disebut Sanitarian (mirip dengan nama mbah Sani Taryan). Sekarang para Sanitarian lulusan dari pendidikan sanitasi di area Watu Petilasan Mbah Sani Taryan telah bekerja di seluruh wilayah Indonesia.
Sekarang ini area Watu Petilasan Mbah Sani Taryan telah menjelma menjadi Kampus 7 Politeknik Kesehatan Semarang. Batu besar yang dikenal sebagai Watu Petilasan Mbah Sani Taryan kini masih tetap utuh dapat dilihat oleh siapa saja. Barangkali hanya sebuah kebetulan juga. Mereka yang belajar di tempat ini banyak yang saling tertarik dan kemudian menikah (ya seperti pesan Mbah Sani Taryan itu).
Purwokerto, 13 Pebruari 2013.