Mohon tunggu...
Sugeng Abdullah
Sugeng Abdullah Mohon Tunggu... Dosen - Mengaku sebagai Sanitarian Indonesia. Ia adalah tipe orang desa yang tidak mau ketinggalan jaman, meskipun kenyataannya selalu ketinggalan. Memiliki latar belakang pesantren (Tebuireng), Kesehatan Lingkungan (SPPH,APK Purwokerto), Keguruan (IKIP Semarang), Teknik Lingkungan (ITS Surabaya)dan Ilmu Lingkungan (UGM Yogyakarta). Ia juga sebagai Dosen di Program Studi D3 dan D4 Kesehatan Lingkungan Purwokerto. Pernah diberi tugas tambahan sebagai Ketua Unit Bengkel Kerja, Koordinator II Bidang Kemahasiswaan, Ketua Program Studi, Ketua Jurusan, Anggota Senat Poltekkes. Penerima Penghargaan Satya Lencana Karya Satya dari Presiden SBY dan Jokowi. Aktif di organisasi HAKLI, APTKLI, MTKP, Koperasi dan Sosial Keagamaan

asli orang desa yang tidak mau ketinggalan jaman, meskipun kenyataannya selalu ketinggalan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Relevansi Ajaran "Laku Pitu" dengan PHBS

19 Februari 2013   08:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:03 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nyata benar, bahwa kekuatan dan kesaktian Nyi Sani dan Mbah Taryan didapat dari konsistensi laku pitu.  Seiring dengan berjalannya waktu,nama  Nyi Sani jauh lebih kesohor dibandingkan dengan Mbah Taryan. Mbah Taryan  sama sekali sudah tidak merasa tersaingi, karena nyatanya Nyi Sani  juga sudah menjadi istri yang baik dan menyenangkan bagi dirinya. Keduanya juga sudah bersepakat untuk sepenuhnya mengabdi bagi masyarakat agar tidak terkena penyakit.  Beliau berdua ingin agar wejangan laku pitu dilaksanakan oleh semua semua orang,  sehingga bisa kuat dan sakti.

Nyi Sani sudah  terkenal  ke segala penjuru arah mata angin, sehingga banyak masyarakat yang ingin bertemu dan memperoleh wejangan secara langsung dari beliau.  Tidak diketahui secara pasti, mengapa Nyi Sani dalam memberikan wejangan selalu  berada diatas batu besar itu.  Kebetulan di kampung tempat tinggal beliau  ada beberapa nama yang  panggilannya sama. Ada Sanikem, ada Sanimah, ada Sanirah, ada marSani, dan lain-lain, semuanya dipanggil “ Nyi Sani atau Nini Sani”. Kemudian untuk memudahkah memberi arah tempat tinggal Nyi Sani yang dimaksud  kepada para tamu yang mencarinya, maka masyarakat setempat menyebut  “Nyi Sani Taryan”. Penyebutan dengan nama itu terasa sangat lazim dan tepat karena Nyi Sani adalah istri Mbah Taryan.

Hampir dipastikan Nyi Sani Taryan  selalu mengajak  tamunya  dan  memberikan wejangannya diatas batu besar itu. Akhirnya banyak yang menduga bahwa  wejangan laku pitu akan terpatri kuat karena adanya pancaran  aura dari batu itu. Lama-kelamaan dengan semakin tua usia Nyi Sani Taryan,  tamu yang bertandang ke rumah beliau memanggilnya dengan “Mbah Sani Taryan”. Demikian juga masyarakat sekitar, memanggil beliau juga dengan sebutan yang sama, “Mbah Sani Taryan”. Dalam beberapa kesempatan Mbah Sani Taryan menyatakan bahwa wejangan laku pitu harus di tularkan kepada semua orang. Beliau  menyatakan juga bahwa tugas menyebarkan wejangan laku pitu sudah mendekati  selesai.

Beberapa hari kemudian, terjadilah  berita menghebohkan. Mbah Sani  Taryan tiba-tiba menghilang bersama suaminya. Rumah tempat tinggalnya juga mendadak menjadi seperti tanah pekarangan biasa.  Memang sebelumnya pernah ada yang mengaku dipamiti oleh Mbah Sani Taryan, yang katanya akan pergi untuk waktu yang sangat lama. Mbah Sani Taryan memang tidak punya keturunan alias tidak punya anak, tetapi suatu ketika pernah berpesan : “Meskipun saya tidak punya anak, tetapi saya akan banyak  memiliki cucu. Yaitu siapapun yang  belajar dan menyebarkan wejangan laku pitu otomatis menjadi cucu saya. Diantara cucu saya mereka akan saling tertarik dan menikah”.

Sepeninggal Mbah Sani Taryan, beberapa orang yang merasa rindu dengan wejangannya, seringkali mendatangi batu besar yang biasa digunakan oleh beliau. Kesaksian penduduk setempat mengaku melihat orang yang  rindu  dan sengaja bersemedi di batu besar itu terakhir terjadi pada tahun 1975an.  Batu besar yang merupakan bekas (jawa : tilas) tempat favorit bagi Mbah Sani Taryan itu  kemudian lebih dikenal sebagai “Watu Petilasan Mbah Sani Taryan”

Barangkali sebuah kebetulan.  Awal tahun 80an, areal Watu Petilasan Mbah Sani Taryan ini  dipilih oleh Departemen Kesehatan RI sebagai tempat untuk mendidik tenaga Sanitasi. Lama pendidikan saat itu hanya satu tahun. Ilmu yang di ajarkan mirip dengan wejangan laku pitu, yakni penyehatan air, penyehatan makan, penyehatan udara, penyehatan tanah dan sampah, pengendalian vektor dan pemberdayaan masyarakat. Lulusannya disebut Sanitarian (mirip dengan nama mbah Sani Taryan). Sekarang  para Sanitarian lulusan dari pendidikan sanitasi di  area Watu Petilasan Mbah Sani Taryan telah bekerja di seluruh wilayah Indonesia.

Sekarang ini  area Watu Petilasan Mbah Sani Taryan telah menjelma menjadi Kampus 7 Politeknik Kesehatan Semarang. Batu besar yang dikenal sebagai Watu Petilasan Mbah Sani Taryan kini masih  tetap utuh dapat dilihat oleh siapa saja.  Barangkali  hanya sebuah kebetulan juga. Mereka yang belajar di tempat ini  banyak yang saling tertarik dan kemudian menikah (ya seperti pesan Mbah Sani Taryan itu).

Purwokerto, 13 Pebruari 2013.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun