Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merdeka untuk Siapa?

16 Agustus 2021   10:05 Diperbarui: 16 Agustus 2021   10:24 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://lovelybogor.com/

Beberapa tahun yang lalu, setiap memasuki Bulan Kemerdekaan, perhatian kita banyak tersita pada ragam perayaan dan jadwal lomba di berbagai instansi, desa, kecamatan, dan kabupaten.  Mulai dari yang ringan-berat, individu-kelompok, sampai pada yang melibatkan orang satu kampung. Perayaan itu berlangsung menarik yang diindikasikan dari antusias warga yang terlibat dan lomba yang disajikan.

Namun dua tahun belakangan ini kita harus merayakan Bulan Kemerdekaan dengan senyap, sepi, dan sedikit banyak dihantui rasa ngeri. Malah mungkin setahun belakangan ini ditambah lagi, rasa geram. Ya geram karena banyak hal yang sebelumnya tidak diduga, dengan pelan-pelan semua akhirnya terkuak.

Seperti misal bantuan guna meringankan beban penderitaan diembat tanpa ada pertimbangan matang, pikiran jangka panjang, dan tentu saja dengan nafsu emoh peduli dengan liyan. Belum lagi ada beberapa kalangan yang gencar menyuarakan emoh percaya pada kasus pandemi, yang secara tidak langsung malah membuat runyam informasi yang beredar di masyarakat. Kemudian tingkah pejabat publik yang merasa dirinya tidak berdosa dengan berbagai pernyataannya yang tanpa sadar mencederai rasa kemanusiaan, terutama bagi mereka yang tertunduk diam di masyarakat akar rumput.

Nah, lantas Bulan Kemerdekaan di tahun ini sebenarnya untuk siapa? Untuk seluruh rakyat di negeri ini seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945? Atau hanya untuk segelintir orang saja?

Saya rasa sudah ada ribuan orang yang menulis dengan tafsir kemerdekaan untuk segelintir orang dengan berbagai macam argumen. Hanya saja, kebanyakan tafsir itu mengalamatkan kemerdekaan pada kepemilikan modal yang melimpah dengan cara korupsi.

Itu tidak salah, mengingat faktanya memang demikian. Hanya saja saya rasa perlu juga menafsiri kemerdekaan ini dari sisi orang-orang pinggiran. Orang-orang yang hidup dan hanya dianggap ada di angka-angka laporan akhir tahun milik pemerintah. Serta orang-orang yang hidup dan diperlukan suaranya ketika pemilihan hendak digelar. Mereka ada sebagai manusia, tapi dianggap layaknya benda.

Salah satunya Pak Sobirin. Tukang becak yang sudah hafal jalanan di Yogyakarta ini pernah mengatakan merdeka itu tidak perlu dimaknai muluk-muluk. Bahwa upacara pengibaran dan penurunan bendera itu perlu dilakukan, itu iya. Karena selain sebagai bentuk formal mencintai sebuah negara, juga sebagai upaya untuk mengingat sejarah negeri ini di masa silam.

"Tapi yang terpenting sebenarnya bukan itu mas. Kalau kita lihat, merdeka dari pikiran-pikiran yang tidak benar, ingin mencuri, ingin mencelakai orang lain, dan ingin menang sendiri itu yang penting. Karena kan negeri ini dibangun dan dicita-citakan oleh pendiri bangsa bukan untuk satu kelompok, tapi untuk semua", tuturnya.

Ia juga memberi perhatian pada anak-anak yang dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi penerus bangsa ini. Baginya anak-anak tidak hanya diajari bagaimana cara berhitung dengan rumus tertentu atau membaca buku tebal berjejal teori-teori saja. Sebab pembangunan negeri ini perlu orang yang mau bekerja keras di bawah sengatan matahari.

"Namanya juga membangun negeri mas. Kalau semua duduk di bangku sekolah, tidak ada bagi tugas, kamu bagian apa, kamu bagian apa, ya ujung-ujungnya repot sendiri". Saya menuduh ucapan itu keluar begitu saja. Mungkin berdasarkan pengalamannya bersua dengan banyak orang, atau mungkin saja dari ragam berita yang tersaji.

Hanya saja ia tidak sadar, bahwa banyak orang di negeri ini menginginkan pekerjaan yang duduk di tempat teduh, berbaju rapi, dan bergaji tinggi. Satu lagi, di negeri ini diskriminasi pekerjaan masih saja berlangsung. Dan ia sebagai tukang becak mungkin belum sadar, bahwa dirinya juga termasuk korban dari diskriminasi pekerjaan itu. Terlepas dari itu semua, ia merasa merdeka dalam kondisi yang sebenarnya tidak merdeka. Sama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun