Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelajar, Angkringan, dan Sikap Angkuh

6 Agustus 2021   10:00 Diperbarui: 6 Agustus 2021   10:15 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://jogja.suara.com/

Malam itu perut saya terasa lapar. Saya memutuskan untuk keluar ke angkringan andalan guna menghilangkan rasa lapar itu. Andalan bukan nama angkringannya. Hanya saja saya menyebut begitu karena harganya lebih murah, menu lebih banyak, dan penjual yang sudah seperti teman sendiri. Ya intinya lebih ramah di kantong dan ramai di perut.

Di angkringan yang biasanya ramai, perlu antri untuk memesan, dan duduk berdesak-desakan, malam itu justru sebaliknya. Angkringan agak sepi pengunjung.

Setelah beberapa saat saya duduk sembari menunggu pesanan saya datang, ada dua orang dengan pakaian ala santri yang duduk tepat di depan saya. Karena jaraknya tidak lebih dari lima meter, ditambah lagi dengan tidak terlalu ramai deru mesin yang berlalu lalang, obrolan mereka berdua pun tidak sengaja mampir di telinga saya.

Sebut saja obrolan itu antara Sudi dan Suda. Sudi terlihat lebih tua, pakaiannya lebih rapi, dan gaya bicara yang cenderung emoh kalah. Ia seperti orang yang telah kenyang dengan caci maki, pujian, dan lika-liku kehidupan. Belakangan dari pedagang angkringan saya mengetahui bahwa si Sudi ini telah bekerja.

Berbeda dengan Suda yang perawakannya lebih kurus, berkulit putih, dan berpakaian layaknya anak muda biasa. Ia lebih sering tertawa. Termasuk merespon curhatan Sudi, yang saya kira perlu respon lebih dari sekadar tertawa.

"Kemarin itu sebenarnya aku sudah muak bicara dengannya. Lha wong belum selesai bicara, kok sudah dipotong. Udah gitu motongnya egak sopan. Kalau dilihat usia, usianya dia egak ada separoh usiaku. Tapi itu lho, sifat angkuhnya itu, yang membuat aku muak", cerocos Sudi beberapa menit setelah duduk, memesan makanan, dan menggegam gorengan.

"Padahal aku cuma mau ingin tahu apa sih maknanya, apa sih maksudnya, apa sih filosofinya orang-orang pondokan itu kalau makan bisa sampai bersih. Ya aku juga bersih makannya, tapi egak sebersih dia. Aku cuma ingin tau alasannya apa?", lanjutnya sambil mengunyah gorengan.

Lagi-lagi Suda hanya tertawa layaknya penonton stand up comedy.

"Kan egak sopan banget. Dia itu katanya udah mondok dari kecil, sekolah s2 juga, dapat beasiswa, tapi perilakunya kok bisa begitu ya. Apa dia tidak sadar kalau yang dia lakukan itu bisa menyakiti orang lain? Oh apa mungkin di situ aku dianggap egak penting, makanya sebelum saya selesai bicara udah dipotong begitu saja?". Omelan itu terjeda sebentar karena pesanannya sudah ada di hadapannya.

Setelah menikmati masa khusyuk sekitar 10-an menit, saya kembali mendengar Sudi ngomel lagi. "Orang sudah berpendidikan tinggi, udah jadi pelajar, udah ngerti ilmu agama, harusnya kan tahu bagaimana cara menempatkan posisinya. Dia itu harusnya tahu menghargai orang yang lebih tua. Egak kok seenaknya sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun