Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Antara Ilusi atau Implementasi Kebijakan UKT

20 Juni 2020   15:38 Diperbarui: 20 Juni 2020   15:31 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa pandemi covid 19 kali ini memang sulit. Bukan hanya soal perekonomian yang terancam terjun bebas, tapi juga soal pendidikan. Salah satunya soal pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) yang dalam tempo beberapa hari ke depan harus dibayar demi keberlangsungan pembelajaran. Tidak sedikit dari mahasiswa yang mengeluhkan hal ini.

Merespon itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat sejumlah kebijakan yang diharapkan mampu memproteksi mahasiswa agar dapat tetap kuliah kendati terdampak pandemi covid 19. Peraturan Mendikbud nomor 25 tahun 2020 mengatur soal biaya UKT yang disesuakan dengan keadaan finansial keluarga akibat terdampak pandemi covid 19. Lebih lanjut, mahasiswa yang sedang cuti tidak wajib membayar UKT atau yang hanya mengambil kurang dari 6 SKS bisa membayar maksimal 50 persen.

Simak pernyataan Pak Menteri berikut ini: "Kami menerima berbagai macam masukan dan cerita tentang betapa besarnya beban mahasiswa selama pembelajaran jarak jauh, seperti keluarganya mengalami krisis pendapatan sehingga kesulitan (untuk) mengakses berbagai macam fasilitas pendidikan. Ini adalah jawaban bagi mahasiswa sekaligus harus dilihat sebagai kerangka regulasi bagi semua perguruan tinggi negeri". Pernyataan ini bisa kita baca dengan khusyuk di Koran Kompas bertajuk "Keringanan dan Bantuan untuk Mahasiswa", 20 Juni 2020. Tajuk yang kedengarannya cukup menggembirakan bagi mahasiswa, tapi entah implementasinya akan sesuai atau tidak, dilihat nanti.

Adapun keringan dan bantuan ini meliputi (selain yang telah ditulis di atas) yakni kelonggaran cicilan uang kuliah tunggal, penundaan UKT (untuk yang ini disesuaikan dengan kebijakan masing-masing kampus), penurunan biaya UKT (ini pun juga harus melalui prosedur yang berbelit dan kalkulasi yang matang, terlebih untuk kampus-kampus swasta), beasiswa, dan bantuan infrastruktur (bantuan ini sebaiknya bukan lagi membangun gedung, namun pemberian kuota data atau internet bagi mahasiswa).

Di luar itu, ada kabar yang cukup menggembirakan bagi kampus-kampus swasta soal dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) afirmasi. Dana yang awalnya diperuntukkan kepada sekolah-sekolah negeri yang berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, di masa pandemi covid 19 ini juga bisa dinikmati oleh sekolah swasta. Begitu pun dengan BOS kinerja yang sebelumnya hanya untuk sekolah negeri dengan kinerja baik, kini bisa disalurkan juga kepada sekolah-sekolah swasta.

Melihat kebijakan seperti itu, Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menyambutnya dengan baik. Hanya saja, daftar perguruan tinggi swasta di negeri ini jumlahnya banyak. Bahkan saya rasa lebih banyak dari perguruan tinggi negeri. Ia berkaca pada kampusnya sendiri bahwa di semester ini, daftar pengajuan penundaan pembayaran uang kuliah meningkat 100 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Ya ini wajar, imbas pagebluk ke pendapatan dan kemudian menyasar ke keberlangsungan pendidikan.

Tapi yang menarik untuk disorot adalah soal pemerataan layanan pendidikan. Sekilas memang melalui kebijakan ini, pemerintah hendak menyuarakan keberpihakan kepada seluruh warga Indonesia soal hak-haknya dalam mengenyam pendidikan. Namun jika dicermati dengan jeli, ada ragam problem yang sebenarnya lebih akut daripada hanya sekadar biaya pendidikan.

Di antaranya soal sistem pendidikan yang melulu mengalami perubahan. Kalau perubahan ini berjenjang, dalam arti dari satu regulasi baru ke regulasi selanjutnya saling berkaitan, ini tidak jadi persoalan. Tapi seperti yang kita dapati belakangan ini, setiap ganti menteri, setiap itu juga kurikulum diganti dan dirombak. Berjalan mulai nol lagi. Padahal pendidikan bukan hanya urusan satu dua periode, tapi juga untuk menyiapkan sumber daya manusia berkualitas unggul di kemudian hari. Teman saya sampai pernah berkelakar dan masuk akal, "udahlah. Kembalikan kurikulum pendidikan seperti gagasannya Ki Hajar Dewantara".

Selain itu? Ada banyak. Dan saya rasa para pengamat pendidikan, guru, kepala sekolah, dan pemangku kebijakan lebih fasih bicara soal problem-problem pendidikan. Tapi yang pasti, kebijakan keringanan dan bantuan seperti di atas dalam kondisi seperti ini, memang sangat membantu. Ya, asal tidak ada pihak yang memainkan pion-pionnnya untuk kepentingan pribadi di tengah pandemi seperti ini. Bukankah begitu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun