Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Musik dan Spirit : Nostalgia, Identitas dan Perjuangan

25 Agustus 2025   20:30 Diperbarui: 25 Agustus 2025   20:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada satu rahasia kecil yang tak pernah benar-benar kita sadari, manusia sesungguhnya adalah arsip hidup dari suara-suara yang pernah didengarnya. Suara hujan pertama kali yang menimpa atap seng rumah masa kecil, suara ibu memanggil dari dapur, suara pasar pagi di kota kecil, hingga suara gitar lirih yang menyelinap ke ruang-ruang sekolah menengah. Semua suara itu diam-diam tersimpan rapi, lalu suatu hari kembali mengetuk pintu ingatan kita.

Di ruang nostalgia musik Indonesia. Bagi mereka yang lahir di awal dekade delapan puluhan, ada nama-nama yang tak bisa dipisahkan dari masa mudanya. Iwan Fals, Dewa 19, Slank, Chrisye, Ebiet G. Ade, dan kawan-kawan seangkatanny. Chrisye dengan suara lembutnya membuai hati lewat lirik-lirik yang penuh perasaan, seakan mengajak kita berjalan pelan di antara kenangan. Dewa 19 hadir dengan energi band rock yang elegan, memadukan syair puitis Ahmad Dhani dengan musik yang mendefinisikan era 90-an. Sementara Ebiet G. Ade, dengan syair kontemplatif dan lantunan gitar akustiknya, menyentuh sisi terdalam manusia tentang hidup, alam, dan kemanusiaan. Tiga gaya berbeda, namun satu benang merah: musik yang lahir dari kejujuran hati, dan bertahan melampaui zaman.  Mereka bukan sekadar penyanyi atau band, mereka adalah penjaga rahasia identitas generasi. Sebab pada usia remaja menurut psikolog Erik Erikson, kita sedang berada pada fase pencarian jati diri, fase ketika segala sesuatu terasa lebih nyaring, lebih penting, lebih menggetarkan.

Musik yang kita dengarkan saat itu, tanpa kita sadari, menjadi bagian dari struktur kepribadian. Ia menjelma bukan hanya sebagai hiburan, melainkan kompas batin. Maka ketika kini, di usia dewasa, kita sedang bekerja di antara tumpukan laporan, rapat yang tak berkesudahan, dan target yang tak pernah ada habisnya, tiba-tiba terdengar suara Iwan Fals dari radio atau ponsel. "Aku lihat ibu pertiwi sedang bersusah hati..." maka seketika tubuh yang lelah itu seperti menemukan kembali energi mudanya.

Ada sesuatu yang mendebarkan ketika nostalgia bersatu dengan identitas. Penelitian musik menunjukkan bahwa memori musikal mampu mengaktifkan bagian otak yang berhubungan dengan motivasi dan kebahagiaan. Dopamin, zat kimia yang membuat kita merasa gembira, tiba-tiba mengalir hanya karena beberapa bait lirik lama. Maka jelaslah mengapa musik-musik itu membuat kita kembali bersemangat dalam bekerja, karena ia adalah tali penghubung antara siapa kita dulu, siapa kita sekarang, dan siapa yang ingin kita perjuangkan untuk masa depan.

Lagu sebagai Jangkar Emosional

Saya percaya, setiap orang punya lagu jangkar. Lagu jangkar adalah lagu yang, begitu terdengar, mampu menyeret kita kembali ke satu momen dalam hidup dengan sangat detail. Kita bisa tiba-tiba mengingat aroma hujan sore itu, wajah sahabat lama, bahkan suasana kelas dengan jendela kayu yang catnya mulai mengelupas.

Untuk sebagian besar generasi 80-an, lagu jangkar itu sering kali datang dari Iwan Fals, Dewa 19, Chrisye, atau Ebiet G. Ade. Bukan kebetulan, melainkan karena para musisi ini mewakili berbagai sisi jiwa manusia Indonesia. Iwan Fals dengan lirik-lirik kritik sosialnya, mengajarkan kita tentang ketidakadilan, keberanian, dan suara rakyat kecil. Dewa 19 membawa puisi cinta dan filosofi eksistensial yang mewakili kerumitan batin, cinta, dan pencarian makna hidup. Chrisye dengan suara lembutnya mengajarkan kerapuhan sekaligus kekuatan cinta yang abadi. Sementara Ebiet G. Ade menghadirkan renungan sosial dan spiritualitas yang tak lekang oleh zaman.

Menurut teori Uses and Gratifications, orang memilih media - termasuk musik - untuk memenuhi kebutuhan psikologis tertentu. Menguatkan identitas, melarikan diri dari rutinitas, atau sekadar mengatur mood. Itulah sebabnya, ketika tubuh terasa lesu di tengah kerja, kita memilih musik yang bukan sekadar enak didengar, tetapi musik yang punya daya ikat emosional.

Lebih jauh, musik dengan ritme cepat dan irama dinamis terbukti secara fisiologis meningkatkan detak jantung dan aktivitas sistem saraf. Buku Rhythm, Music, and the Brain karya Thaut menjelaskan bagaimana irama bisa memengaruhi fungsi motorik dan kognitif manusia. Jadi sebenarnya, ketika seseorang bersemangat bekerja setelah mendengar lagu Iwan Fals, Chrisye, Dewa, atau Ebiet, itu bukan hanya soal psikologis, tapi juga biologis. Tubuh merespons musik sebagaimana ia merespons adrenalin.

Namun, saya ingin melihatnya dari sisi yang lebih puitis, mungkin musik bekerja seperti sahabat lama. Ia datang di saat kita lelah, duduk di samping kita, lalu berkata, "Hei, kau pernah bermimpi besar dulu. Jangan menyerah sekarang."

Semangat yang Tak Pernah Padam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun