Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Musik dan Spirit : Nostalgia, Identitas dan Perjuangan

25 Agustus 2025   20:30 Diperbarui: 25 Agustus 2025   20:33 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Musik adalah satu-satunya bahasa universal yang bisa menjembatani waktu. Ia mampu melintasi puluhan tahun dan tetap terdengar segar. Lagu yang ditulis tahun 80-an masih bisa menggetarkan hati generasi Z hari ini. Dan bagi mereka yang tumbuh bersama lagu itu, musik menjadi pengingat bahwa semangat muda tidak pernah benar-benar mati, ia hanya menunggu dipanggil kembali.

Ketika seseorang yang lahir tahun 1980 bekerja di tengah tantangan zaman digital, lagu-lagu lama itu mengingatkannya bahwa ia pernah melewati masa yang lebih sulit, lebih sederhana, namun penuh daya juang. Maka semangat itu tidak datang dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri, dibangunkan oleh nada-nada lama.

Saya teringat sebuah penelitian tentang nostalgia. Janata (2009) menulis bahwa musik yang membangkitkan kenangan autobiografis mengaktifkan korteks prefrontal medial -wilayah otak yang berkaitan dengan motivasi dan identitas diri. Dengan kata lain, lagu-lagu lama bukan sekadar hiburan, tetapi mesin waktu psikologis yang membawa kita kembali ke asal semangat kita.

Maka, betapa indahnya menyadari bahwa setiap kali kita menekan tombol "play" pada sebuah lagu, kita sebenarnya sedang menekan tombol pada diri kita sendiri. Tombol semangat, tombol harapan, tombol yang mengingatkan bahwa kita pernah muda, dan kita masih punya api untuk melanjutkan perjalanan.

Pada akhirnya, musik seperti Iwan Fals, Chrisye, Dewa 19, atau Ebiet G. Ade bukan hanya soal nada dan lirik. Mereka adalah cermin perjalanan bangsa dan perjalanan pribadi. Mereka membisikkan pada kita, bahwa meski dunia kerja penuh tekanan, ada sebuah energi yang tak bisa dikalahkan. Energi dari suara yang dulu pernah menemani kita tumbuh.

Itulah mengapa, di antara tumpukan pekerjaan yang membosankan, musik itu membuat kita kembali hidup. Karena musik adalah rumah bagi jiwa yang letih, sekaligus bahan bakar bagi semangat yang tak ingin padam.

Musik yang membangkitkan semangat bukanlah musik yang sekadar enak di telinga, melainkan musik yang pernah singgah di hati kita pada masa kita belajar menjadi manusia. Dan bagi generasi 80-an, Iwan Fals, Chrisye, Dewa 19, Ebiet G. Ade, dan lagu sejenis adalah kitab kecil kehidupan yang sampai kapan pun akan tetap menyala.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun