Mohon tunggu...
Sudirman Hasan
Sudirman Hasan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Asli Jombang dan kini mengabdikan diri di sebuah lembaga pendidikan di Malang. "Dengan menulis, aku ada. Dengan tulisan, aku ingin hidup seribu tahun lagi..."

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Antara Karir, Keluarga, dan Kematangan Emosi

7 September 2016   22:13 Diperbarui: 7 September 2016   22:45 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pagi ini kawan saya curhat. Saya cukup tersanjung ketika teman satu ini yang sudah lulus S3 bahkan pernah keliling dunia mau berbagi perasaannya kepada saya. Ia mengatakan bahwa baginya ilmu dan kedudukannya sudah dirasa cukup. Ia memiliki sederet prestasi akademik mengagumkan dan jabatan yang prestisius. Setiap dia mengisi acara atau memberikan wawasan keilmuan yang terkait dengan keahliannya, ia dengan mudah menuai pujian dan menerima tanda kehormatan. Maklum, ia memang pakar di bidang keahliannya dan barangkali tergolong langka di Indonesia.

Lain di kampus, lain di rumah. Di kampus, ia selalu dielu-elukan oleh rekan kerja dan mahasiswanya, tetapi di rumah ia bagai orang yang tak berharga. Ia tak mendapatkan apa yang ia inginkan dari pernikahannya. Istrinya jarang mau membantunya dan anak-anaknya pun sulit dikendalikannya. 

Tak ayal, ia sering meluapkan rasa kesalnya dengan marah-marah. Jika emosinya naik, tak hanya kata-kata kotor yang terlontar, ia seringkali memukul istri dan anaknya dengan tangan atau bahkan kayu. Pendek kata, ia merasa tak betah lama-lama tinggal di rumah dan ingin segera pergi untuk menikmati kegembiraan di luar.

Dalam pengakuannya, rasa marah yang sering datang membuatnya kehilangan kontrol. Ilmu yang begitu menjulang serasa tak ada apa-apanya. Sikap kasar yang ia lakukan juga seperti tidak terkendali. Pukulan yang ia lakukan seperti reflek dari kekecewaan hatinya yang dalam. 

Sesaat setelah ia melakukan kekerasan di rumah tangganya, ia kemudian menyesal. Ia tahu, penyesalan itu tak ada artinya karena perilaku semacam itu acapkali ia lakukan.   Ia mungkin dicap sebagai seorang ayah yang kasar, sombong, angkuh, tidak berperikemanusiaan dan semacamnya. Ia malu pada dirinya sendiri, pada tetangganya yang sering mendengar kegaduhan dan sumpah serapah, juga kepada orang luar yang terlanjur mengidolakannya.

Mengapa ini terjadi? Bagaimana solusinya?


Sungguh tidak mudah menjawab pertanyaan di atas. Setiap peristiwa tidak lepas dari rentetan cerita yang ada pada sebelum dan sesudahnya. Dalam kasus di atas, ada situasi yang disebut sebagai depan panggung (front stage) dan belakang panggung (back stage). Di depan panggung, dalam konteks ini situasi di kampus atau di luar rumah, kawan saya ini sudah memperoleh pencitraan positif yang ia bangun dengan susah payah.

 Ia selalu datang tepat waktu, mengerjakan tugas dengan sempurna, menyampaikan pikiran secara runtut, dan penguasaan bahasa yang canggih. Penampilannya sungguh mengagungkan! Pada posisi ini, ia lupa bahwa ia punya keluarga yang harus ia urus. Ia adalah kepala rumah tangga yang juga bertanggung jawab untuk menuntun istri dan mendampingi anak-anaknya tatkala di rumah. Pendek kata, ia harus berperan semaksimal mungkin untuk meraih popularitas yang membanggakan di luar. Ia telah berhasil mencapainya!

Namun, prestasi di luar tidak selaras dengan prestasi di rumah. Pada posisi di belakang panggung ini, ia masih terbayang-bayang dengan kehormatan di luar rumah. Padahal, ia juga butuh kehormatan di dalam rumah. Oleh sebab itu, ia perlu membuat strategi untuk membuatnya nyaman dan betah di rumah bersama keluarga intinya. Sebaiknya, ia menanggalkan seluruh statusnya di luar dan memerankan tugas sebagai seorang suami dan ayah. Ia harus cinta kepada istrinya sebagaimana ia sayang kepada pekerjaannya. Ia juga harus peka dengan kebutuhan anak-anaknya seperti ia begitu cepat tanggap atas keinginan atasannya.

 Ia pun harus mampu menciptakan suasana rumah yang dinamis persis dengan apa yang ia lakukan di ruang kantornya. Seorang suami yang baik bukan hanya besar namanya di luar rumah, namun ia juga dikenal penyayang di dalam rumah. Seorang ayah yang baik tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan fisik anaknya, namun ia juga harus mampu meluberkan cinta kasihnya kepada keturunannya. Jika semua posisi sudah dipahami, maka ia akan mudah menginstal ulang gaya hidupnya sehingga ia dapat diterima kembali di keluarganya tanpa harus mengekspresikan emosi secara berlebihan.

Tatkala ia sudah melakukan beberapa tahap di atas, kini gilirannya mengelola emosinya. Mengapa ia marah? Biasanya, kemarahan bisa terjadi karena adanya kesenjangan (gap) antara harapan dan kenyataan. Misalnya, ia berharap bahwa ia ingin dihormati tetapi pada kenyataannya ia tidak mendapatkan kehormatan itu dari istri dan anak-anaknya. Oleh sebab itu, ia tumpahkan kekesalannya dengan marah dan tindakan kasar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun