Mohon tunggu...
Suci WahyuningtyasAriyanto
Suci WahyuningtyasAriyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa Studi Agama Agama UINSA Surabaya

Mahasiswa Studi Agama Agama UINSA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Penolakan Pembangunan Tempat Ibadah di Beberapa Wilayah Indonesia beserta Pelanggaran HAM

6 Juli 2023   21:32 Diperbarui: 6 Juli 2023   21:46 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terjadinya konflik dalam sebuah tatanan masyarakat yang majemuk dan hidup di wilayah yang heterogen merupakan hal yang biasa dan seringkali terjadi khususnya dalam sejarah kehidupan bermasyarakat. Hal ini karena secara teoretik, pluralitas yang melekat pada sebuah wilayah berpotensi menyebabkan perpecahan atau konflik di antara masyarakat yang ada di dalamnya. Wilayah-wilayah heterogen di Indonesia juga mengalami efek dari predikat plural tersebut, sehingga banyak terjadi konflik yang menimbulkan kerusakan yang besar seperti konflik Poso (1998-2001), Sampit, Sambas Kalimantan Barat (1997,1999-2001), Maluku, Maluku Utara (1999), dan konflik Aceh (1999-2005). Agama sebagai salah satu sumber konflik memiliki beberapa sebab, yang menurut Ahmad Suedy pertentangan terkait pendirian tempat ibadah merupakan penyebab utama terjadinya perselisihan sosial di ranah agama di Indonesia, sehingga tidak jarang berujung perusakan dan pembakaran. Dari beberapa konflik yang tejadi seputar rumah ibadah, sebagian besar disebabkan atas penolakan mayoritas penganut agama setempat terhadap rumah ibadah agama minoritas yang dibangun di lokasi tersebut. Menurut catatan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2008 termasuk 12 kasus konflik seputar rumah ibadah, sementara pada tahun 2009 terdapat 18 kasus dan pada tahun 2010 terdapat 39 kasus. Sementara menurut data Kompas.com (08/01/2019), sepanjang 2018 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Indonesia yang bernaung di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah menangani 15 kasus terkait pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan antara lain kasus konflik rumah ibadah di Tanjung Balai Asahan Sumatera Utara, Konflik Aceh Singkil, Tolikara Papua, dan Konflik Rumah Ibadah Lainnya.

Ketika membahas hak-hak kaum minoritas seperti hak dalam sosial, politik, dan kebebasan beragama itu termasuk kedalam hak asasi manusia (HAM) yang tidak bisa diganggu gugat ataupun ditawar (non-derogable rights). Perlindungan dalam hak asasi manusia sudah termaktub dalam piagam PBB yang sesuai dengan pasal 27, 28, 29, 30, dan pasal 31 UUD NRI 1945. Dalam hak-hak kaum minoritas pada hal kebebasan beragama sudah berjalan dengan baik pelaksanaan nya, tetapi masih terjadi konflik antara kaum minoritas dan kaum mayoritas. Menurut Kymlicka, hak seorang individu sangat berhubungan dengan hak sebuah kelompok ketika hak sebuah kelompok itu tidak dapat dipenuhi maka hak individu nya juga tidak akan terpenuhi, seperti ketika hak kaum minoritas agama Kristen tidak terpenuhi untuk beribadah maka hak setiap individu nya juga tidak akan terpenuhi untuk melaksanakan ibadahnya, sehingga hak kaum minoritas harus diperjuangkan.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa wilayah yang memiliki tingkat pluralitas tinggi berpotensi terjadinya konflik. Kategori wilayah yang plural juga ada pada Kota Jambi, kota utama dan paling padat di Provinsi Jambi. Berdasarkan pada aspek geografis dan demografis, Kota Jambi memiliki luas wilayah sebesar 205,38 km dengan delapan kecamatan dan jumlah penduduk sebanyak 576.067 jiwa, dengan rincian laki-laki sebanyak 289.713 jiwa dan perempuan sebanyak 286.354 jiwa (BPS Kota Jambi, 2019). Berdasarkan aspek sosiologis, komposisi penduduk Kota Jambi berdasarkan etnis cukup beragam, mulai Jawa, Sunda, Palembang, Batak, Minang, Bugis, Banjar, Arab, India dan China, meskipun etnis Melayu menjadi kelompok mayoritas, dan memeluk beragam agama, seperti Islam (sebagai mayoritas), Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Khong Hu Chu (BPS Kota Jambi, 2019). Sejalan dengan konsepsi pluralitas menghasilkan konflik, maka di Kota Jambi juga pernah terjadi konflik bernuansa agama. Secara historis, kronologis berawal dari para tokoh agama Kristen Batak yang datang ke daerah Penyengat Rendah Kecamatan Telanaipura Kota Jambi pada tahun 1980, dalam konteks bantuan musibah banjir. Masyarakat yang menerima sembako, semuanya beragama Islam, diminta untuk menandatangani lembaran kertas penerima sembako. Ironisnya, lembaran tandatangan penerima sembako ini kemudian disalahgunakan oleh Kelompok Tokoh Agama Kristen Batak untuk persyaratan pendirian balai pertemuan agama Kristen di daerah tersebut, sebagai persyaratan maupun bukti dukungan masyarakat setempat. Balai pertemuan ini lama kelamaan disulap menjadi gereja yang lokasinya hanya sekitar 300 meter dari bangunan masjid masyarakat setempat. Tentu kehadiran rumah ibadat Gereja ini direspon penolakan oleh masyarakat setempat yang mayoritas Muslim yang merasa telah diperdaya dan tidak pernah memberikan persetujuan. Meski demikian, konflik tersebut tidak melahirkan anarkisme ataupun bentuk tindakan kekerasan lainnya terhadap minoritas pengguna Gereja tersebut. Kearifan lokal melalui seloko adat menjadikan kebiasaan masyarakat Melayu di Kota Jambi menyelesaikan perkara melalui mufakat bersama tokoh agama dan tokoh adat yang kemudian memberikan pemahaman kepada masyarakat setempat agar mengadukan persoalan tersebut ke pihak berwenang yakni lembaga adat dan pemerintah. Kasus ini pun akhirnya sampai ke Pengadilan Jambi bahkan sampai ke Mahkamah Agung yang menyeret pihak Pemerintah Daerah ke ranah hukum tersebut dengan penyelesaian bahwa gereja tersebut tidak memiliki izin sehingga aktivitas peribadatan di gereja tersebut dipindahkan ke gereja lain yang sudah mendapatkan izin dari pemerintah.


Kasus selanjutnya tentang penolakan pembangunan rumah ibadah terjadi di Cilegon, Banten.  Konflik yang terjadi di Desa Citangkil Kota Cilegon ini bahwasanya kaum mayoritas Islam di Desa Citangkil ini tidak menginginkan adanya pembangunan ibadah agama Kristen. Dari data BPS pada tahun 2013 kota cilegon memiliki warga sebanyak 335.913 jiwa, yang mayoritas agama islam nya yaitu sebanyak 97.64%, sedangkan agama lain di kota cilegon adalah sebanyak 2.36%. Dari apa yang kita ketahui bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pancasila sebagai landasan dasar negara ini berdiri, yaitu sila pertama dan sila ke lima yang berbunyi (1.Ketuhanan yang maha Esa & 5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Tentu saja karena masyarakat Indonesia yang beragama seperti agama yang berbeda mereka dianjurkan untuk menjalankan kewajiban agamanya yaitu ibadah, salah satu faktor penting mereka untuk melaksanakan ibadahnya yaitu dengan adanya fasilitas atau tempat ibadah mereka umat Kristen yaitu Gereja. Pada konflik ini juga bukan hanya melanggar atau bertentangan dengan Pancasila saja, akan tetapi bertentangan dengan peraturan bersama Menteri Agama No.9 dan Menteri Dalam Negeri No.8 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadah. Konflik-konflik atau permasalahan yang terjadi terkait hak kaum minoritas yang tidak terpenuhi karena penolakan dari kaum mayoritas tidak dapat dilepaskan dari peran yang sangat penting yaitu adanya peranForum Kerukunan Umat Beragama, namun masyarakat mayoritas Islam di Kota Cilegon menentang hal tersebut dikarenakan hal itu dapat mengganggu kegiatan umat Muslim di sana. Dalam kasus ini sikap intoleransi yang terlihat dari umat Islam di Kota Cilegon yang menunjukan adanya sikap tidak menyukai adanya keberagaman karena adanya penolakan dari kaum mayoritas yaitu umat beragama Islam terhadap kaum minoritas beragama Kristen dalam upaya pembangunan tempat ibadah. Karena pada dasarnya dalam UUD 1945 saja menganjurkan setiap warga negara bebas memilih agamanya dan menjalankan kewajiban beragamanya dan salah satunya yaitu mendirikan tempat ibadah, karena tempat ibadah merupakan tempat dimana seluruh umat yang menganut agama tertentu berkumpul karena di yakini memiliki nilai atau pahala lebih jika beribadah di tempat ibadah. Begitu pula umat Kristen di Cilegon, mereka seharusnya memiliki hak yang sama dalam menunaikan kewajiban mereka untuk beribadah di Rumah Ibadah mereka yaitu Greja dimana seharusnya juga mereka leluasa untuk beribadah setiap waktu dimana mereka tidak memiliki cukup waktu untuk beribadah ke Greja yang bertempat di Kota Serang walaupun difasilitasi dalam hal transportasi namun, hanya dihari-hari tertentu seperti hari Minggu.

Terjadinya penolakan atas pembangunan tempat ibadah bagi kamu minoritas merupakan sebuah tindakan intoleran yang dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat di daerah indonesia. Konflik yang terjadi antar kelompok agama minoritas dan mayoritas kerap kali terjadi, kelompok mayoritas merasa mempunyai kuasa lebih atas tempat tinggal yang mereka tempati sehingga menganggap kehadiran pembangunan tempat ibadah bagi kelompok agama minoritas dianggap menganggu. Padahal sejatinya, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pun tercakup bahwa setiap warga negara mempunyai hak atas kebebasan beragama serta menjalankan peribadatan sesuai dengan agama masing-masing. Tentu saja, dengan kasus penolakan pembangunan tempat ibadah ini dirasa cukup melanggar Hak Asasi dalam hal beragama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun