Senjaku Tak Lagi Hangat
Senjaku tak lagi singgah
Awan jingganya tertutup kabut kekecewaan
Ia kusam dan berdebu
Menyisakan langit kelabu tanpa salam
Sementara angin berbisik terasa getir
Layaknya  suara kami yang lelah bersuara
Kami Menikmati harga melambung tanpa kabar
Kami Menikmati kondisi atas kebijakan yang jatuh dari langit tanpa tanya
Menghantam panggung kami
Yang sudah bengkok oleh beban hidup
Di pundak kami terasa beban digantungkan
Tak ditanya dan tak diminta
Namun diresmikan tanpa ragu
Sementara di jalan-jalan pasar, di sawah, di jalanan
Kami mengencangkan ikat pinggang
Ibu-ibu menakar sisa napas harian
Menghitung rupiah hingga ke butir terakhir
Sedangkan anak-anak mulai menatap piring
Yang lauknya semakin jarang berkisah
Sementara di kursi berlapis tebal itu
Mereka menanti
Reaksi, protes, dan amarah yang memuncak
Hingga suara kami cukup gaduh
Untuk mengusik pendengarannya
Hingga kami begitu hapal skenarionya
Untuk kembali memutuskan
Apakah payung kebijakan perlu dilipat kembali?
Sehingga Bukan kepedulian yang menggerakkan
Bukan karena cinta pada amanahnya
Tapi takut dan cemas akan badai di kotak suara
Untuk kembali menyelamatkan nama dan jabatannya
Senjaku ini terasa dingin
Dinginnya menusuk layaknya janji yang mulai basi
Bukan karena usai ditimpa hujan
tapi, karena rasa percaya kami mulai mengikis
Dan aku hanya bisa bertanya
Kapan senja menyapaku kembali?
Yang setia menanti hangatnya
Untuk membawa cahaya keperpihakan setulus hati
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI