Mohon tunggu...
Money Pilihan

Mengapa Pertanian Pangan Kita Masih Seperti Zaman Borobudur

23 September 2017   11:38 Diperbarui: 23 September 2017   11:58 2550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dipetik dari buku "700 Tahun Majapahit" (dokumentasi pribadi)

THR Golongan I Sebesar 5 x Gaji

Jelas sekali, buruh adalah simpul kekotaan dan kedesaan. Majikan bagi buruh adalah partner untuk mendapatkan Kebahagiaan Lebaran. Majikan jangan mendefinisikan buruh Indonesia secara tidak pas, kudu sesuai dengan kultur Indonesia. Buruh bisa menjadi partner majikan untuk memerangi pungli dan sebagainya, demi meningkatkan daya saing serta kesejahteraan dan lain-lain, asalkan majikan mau menempatkan dan memandang buruh Indonesia sesuai kultur Indonesia.

Di dalam kebahagiaan buruh saat mudik lebaran bisa terdapat semangat sekaligus tindakan nyata menghidupkan kembali konsep lumbung di setiap rumah petani di zaman dulu yang selalu berisi padi sepanjang musim. Jelas sekali segi ini memperkuat ketahanan budaya nasional, dan menopang kekuatan negara. Konsep lumbung padi itu di masa kini dapat berupa perhiasan-perhiasan emas yang disimpan oleh ibu-ibu di desa-desa.

Ibu-ibu itu, ya Tuhan, senang sekali kalau menerima THR dari anaknya, dari keponakannya, dari anak teman-temannya, dan setelah untuk menyenangkan cucu-cucunya, kalau masih ada lebihan biasanya akan dibelikan perhiasan-perhiasan emas. Oleh karena itu strategi pengupahan buruh perlu menjadikan THR sebagai komponen sangat penting yang diformatkan dapat diwujudkan secara maksimal. THR bagi golongan I sebesar 5 x gaji, golongan II adalah 4 x gaji, golongan III lebih kecil perbandingannya, yaitu 3 x gaji, dan golongan IV THR-nya cukup 2 x gaji.                            

Desa tak perlu lagi dipandang sebagai desa zaman dulu. Desa zaman sekarang lahan persawahannya terancam alih-fungsi jadi mall, apartemen, dan lain-lain. Petani zaman sekarang pun banyak petani gurem dengan lahan di bawah 0,5 hektar, punya anak empat orang dibagi empat, dan seterusnya, akhirnya jadi persil-persil dan dijual juga.

Tata Ulang Petak Sawah Secara Korporasi


Alih fungsi lahan persawahan di Pulau Jawa harus dihentikan. Mencetak sawah baru terlalu mahal, dan bukan hanya karena itu, tetapi terutama berkaitan dengan menjadikan pertanian pangan dapat bergerak dalam keserempakan dengan sub-sub unsur serta dalam unsur-unsur kebudayaan secara keseluruhan. Dengan demikian dapat ditetapkan luasan sawah yang ada dan tak akan lagi berubah.

Lalu dilakukan penataan ulang petak-petak sawah disesuaikan dengan kebutuhan penggunaan traktor kendara yang besar-besar, baik untuk pengolahan lahan maupun pemanenan hasil pertaniannya. Petak-petak sawah yang kecil-kecil itu dilebur, dan pemilikan petani diganti dengan semacam nilai saham, dengan penunjukan lokasi lahan sesuai koordinat geografisnya. Nilai saham tersebut dapat diwariskan. Sementara traktor-traktor tangan hanya digunakan di daerah-daerah perbukitan, yang petak-petak sawahnya tak mengapa tetap seperti sediakala. Apartemen-apartemen sederhana dibangun di pinggiran kota-kota kecil, guna penyediaan rumah murah bagi keluarga petani.

 Mengenai teknis pelaksanaan pengelolaan pertanian pangan secara semacam korporasi itu niscaya bisa dirumuskan oleh para ahli dengan sebaik mungkin. Jangan sampai lengah berlama-lama membiarkan kondisi yang berbahaya berlangsung, akibat pertanian pangan tidak bergerak dalam keserempakan dengan sub-sub unsur serta dalam unsur-unsur kebudayaan secara keseluruhan. (sbr, 6-9-2017)

Oleh Subekti Budhi R, perajin kata-kata    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun