Mohon tunggu...
Humaniora Artikel Utama

Soal Piramid, Stupa, dan Tumpeng

3 Agustus 2017   21:38 Diperbarui: 4 Agustus 2017   14:01 1399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS IMAGES/ANDREAN KRISTIANTO

Tampak luar Gunung Padang di daerah Garut, Jawa Barat, yang "mencurigakan" telah menimbulkan kehebohan tersendiri. Bentuknya piramid. Mencurigakan, karena jangan-jangan memang Piramid seperti halnya Piramid Mesir yang sangat terkenal. Ada yang meyakininya sebagai Piramid yang "tertimbun", namun ada pula yang menyatakan tidak mungkin dengan alasan Indonesia tak punya budaya piramid melainkan stupa. Namun benarkah Indonesia tak mengenal Budaya Piramid?

Fakta-fakta kesejarahan menunjukkan, budaya piramid bukan hanya ada di Mesir, melainkan juga ada di Amerika (:orang Indian di Meksiko) dan Indonesia. Piramid itu "berbicara" tentang gunung dan kematian. Artinya juga, bila kita berbicara soal piramid, aliasnya pun berbicara tentang replika-replika gunung ---bukan hanya piramid saja--- juga simbolitas-simbolitas beserta kemaknaannya, tentang leluhur, dan tentang gunung itu sendiri. Piramid Mesir jelas-jelas menggambarkan gunung yang "menelan" manusia, bahwa telah terjadi malapetaka besar yang menimbulkan banyak kematian akibat peristiwa bencana alam yang berkaitan dengan gunung.

Apakah Gunung Padang itu piramid atau bukan, bagi saya tidak penting. Sebagai Punden Berundak saja sudah cukup. Artinya apa? Artinya sudah cukup menunjukkan adanya budaya piramid.

Budaya Piramid di Indonesia sudah berkembang jauh sebelum Budaya Stupa "masuk" dan (seolah-olah) meniadakannya. Dalam arti, mengingat tinggalan-tinggalannya hanya tinggal bisa ditemukan di sangat sedikit lokasi serta tiadanya pemaparan-pemaparan secara umum melalui sekolah-sekolah, maka pada umumnya orang Indonesia tidak tahu mengenai hal tersebut. Padahal simbolitas terkait gunung dan kematian ataupun tentang kematian dan gunung itu, sungguh sangat penting dipahami oleh siapa saja. Halnya juga menunjukkan adanya budaya ataupun ide-ide global yang berkembang di zaman kuno sekali. Bahwa akibat katastrofir atau melapetaka besar akibat bencana alam tersebut telah melahirkan kesamaan-kesamaan bahasa simbol dalam pencatatannya, di berbagai belahan dunia. Seperti telah disinggung di atas, misalnya, adanya bahasa simbol berupa piramid di Mesir, di benua Amerika, dan di Indonesia.

Ahli sejarah Bernard H.M. Vleke dalam buku "NUSANTARA Sejarah Indonesia" (diterbitkan oleh KPG bekerjasama dengan Freedom Institute tahun 2008, diterjemahkan dari edisi 1961 dengan judul NUSANTARA: A History of Indonesia), mengungkapkan adanya konstruksi-konstruksi dalam bentuk dinding bukit berteras yang dapat ditemukan di seluruh Pulau Jawa, dan terdapat pula di Sumatera bagian selatan. Tepatnya, di halaman 17 tertulis begini: "...terdapat piramida-piramida batu kecil dan di Jawa Barat bahkan dihiasi pahatan-pahatan. ...Makna yang pasti dari monumen-monumen ini tentu saja masih belum jelas. Teori-teori menarik walau agak fantastik telah dirumuskan mengenai pembangunnya, antara lain oleh arkeolog Britania William J. Perry, yang menafsirkan konstruksi-konstruksi batu itu sebagai peninggalan para migran hipotetis,'Anak-anak Matahari'. Orang-orang yang sama juga dianggapnya membangun monumen batu di Prancis, Inggris, dan Amerika. Sebagian besar arkeolog modern setuju bahwa monumen-monumen itu berfungsi dalam kultus bagi orang mati dan berhubungan dengan pemujaan nenek moyang..."

Mengenai yang di Indonesia tadi, tak lain itulah bangunan purbakala yang lebih dikenal sebagai Punden Berundak. Bangunan punden berundak sudah ada sejak jauh sebelum tarikh Masehi. Punden berundak, dengan demikian, bermaknakan budaya piramid.

Budaya Piramid di Indonesia sudah berlangsung ribuan tahun. Itulah fakta simbolis dalam bentuk bangunan bagi peringatan ---sebagaimana tergambarkan dalam uraian di atas--- terkait gunung dan kematian. Sama halnya dengan Piramid Mesir, yang tak dapat dipungkiri juga bermaknakan peringatan terkait gunung dan kematian ataupun kematian dan gunung. Sementara bagi Indonesia, di balik piramid sebagai replika gunung adalah gunung itu sendiri, karena gunung yang dimaksud ada di Indonesia, yaitu gunung Toba dan gunung Krakatau.

Di Indonesia bukan hanya terdapat sekedar Budaya Piramid, melainkan Budaya Gunung. Indonesia pun identik dengan gunung dan laut, yang menjadi satu kesatuan sumber tradisi dan kebudayaan. Itulah maka satu-satunya bangsa yang menyebut negaranya dengan suatu sebutan tanpa ada padanannya di mana pun di dunia adalah bangsa Indonesia, yaitu sebutan Tanahair.

Satu hal lagi sangat penting yang harus dicermati dan dihayati adalah adanya replika yang menggambarkan pernah terjadinya peristiwa besar terkait gunung dan laut ---dan itu hanya ada di Indonesia oleh karena kejadiannya memang di Indonesia--- yaitu tradisi tumpeng dan cara menanak nasi menggunakan wadah berbentuk replika gunung terbalik yang puncaknya tenggelam di air mendidih.

Budaya Piramid di Indonesia sudah ada jauh sebelum masuknya Budaya Stupa, dan esensinya tidak hilang kecuali dari pemahaman umum pada umumnya orang Indonesia. Maka kita harapkan pelajaran sejarah pada tingkat SMA hendaknya memaparkan tentang sejarah kebudayaan, bukan lagi sekedar sejarah dinasti. Dengan demikian orang Indonesia dengan spesialisasi apa pun sesuai jurusan pada pendidikan tingkat tingginya, dapat mengenali diri dan bangsanya secara lebih baik.

Budaya piramid dalam bentuk karya fisik atau materi, memang sempat hilang dan tergantikan dengan budaya stupa. Namun prinsip-prinsip simbolisme piramid muncul kembali pada "era Jawa Timur" setelah pusat kerajaan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada 929 Masehi. Hal ini sesungguhnya sudah menjadi pemahaman umum orang Indonesia, karena jejak-jejaknya sangat nyata berupa candi-candi di Jawa Tengah dan candi-candi di Jawa Timur. Candi-candi di Jawa Tengah banyak menyuratkan Budaya Stupa, dan candi-candi di Jawa Timur menegaskan kembali ke Budaya Piramid ataupun Budaya Gunung (dan laut). Tiga lokasi utama di Jawa Timur dapat disebut adalah Candi Jago di daerah Malang, Candi Panataran di daerah Blitar, dan peninggalan-peninggalan purbakala di lereng Gunung Pananggungan.   

Diantaranya adalah Candi Jago bagi Raja Sri Jaya Wisnuwardhana atau yang juga dikenal sebagai Rangga Wuni yang wafat tahun 1268 M. Candi Jago dibangun pada era Singasari dan Majapahit, nyata-nyata menerapkan (kembali) konsep Punden Berundak, sejalan dengan prinsip-prinsip simbolisme Piramid. Dalam buku "Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II" (R. Soekmono, cetakan ke-3 tahun 1975) pada halaman 64 tertulis begini: "Candi Jago ini menarik perhatian, oleh karena kakinya yang bertingkat tiga dan tersusun berundak-undak dan tubuh candinya yang letaknya di bagian belakang kaki candi, menunjukkan timbulnya kembali unsur-unsur Indonesia (semacam limas berundak-undak)...."

Meski demikian tulisan ini tidak menggarisbwahi kecurigaan atas sebuah bukit di Jawa Barat tadi merupakan Piramid layaknya Piramid Mesir yang tertimbun sebagai kebenaran, tidak. Benar atau tidaknya harus dilakukan penyelidikan dan penggalian yang lebih bersungguh-sungguh, dan apa pun hasilnya tidak berpengaruh terhadap pokok kedalaman uraian tulisan ini. Tulisan ini menekankan, kita mesti fair bahwa Indonesia bukannya tidak mengenal budaya piramid, sebab faktanya justru Budaya Piramid sudah berkembang jauh sebelum Budaya Stupa.

Budaya Piramid pula yang sesungguhnya mempersatukan Bangsa Indonesia, yang kandungan realitas kesejarahannya juga muncul dalam bahasa simbol warna putih-merah-kuning-hitam. Hendaknya hal-hal seperti ini juga dijadikan bahan renungan untuk dikaji lebih mendalam. Di mana-mana adat terkait dengan warna putih-merah-kuning-hitam. Malah di Jawa ada satu warna lagi sebagai pancer atau pusat, warna yang bukan warna apa pun tetapi sebagai pancer, yaitu MANCAWARNA. Bahkan konsep hari yang lima, yaitu legi, pahing, pon, wage, kliwon, itu juga warna-warna dengan warna yang kelima dibahasakan sebagai cinta-kasih. Tepatnya adalah: putih, merah, kuning, hitam, dan kasih (pethak-abrit-jene-cemeng-kasih). Ini kan luar biasa, dan hendaknya BACALAH.

 Oleh karenanya jiwa budaya nasional bangsa Indonesia itu mewadahi dan mengayomi. Itulah pula maka para pendahulu yang luar biasa menemukan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. (sbr, Juli 2017)

Oleh Subekti Budhi R, perajin kata-kata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun