Artikel opini analitis tentang perbaikan sistem pemerintahan Indonesia melalui GoverTech, rotasi kepemimpinan birokrasi, dan kebijakan berbasis data untuk melawan korupsi.
Perbaikan sistem pemerintahan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak bagi sebuah bangsa yang masih dibayangi korupsi, lambannya birokrasi, dan ketidakadilan hukum. Indonesia memerlukan lompatan besar agar rakyat kembali percaya pada negara. Teknologi, rotasi kepemimpinan, dan kebijakan berbasis data menjadi tiga pilar yang bisa mengurai kebuntuan, asalkan dijalankan dengan keberanian politik dan integritas moral.
Reformasi birokrasi di Indonesia sering kali menjadi wacana panjang yang tidak kunjung selesai. Janji demi janji tentang pemerintahan bersih dan efisien berulang kali diucapkan, tetapi realitas di lapangan menunjukkan jalan terjal. Kasus korupsi tetap marak, proses penegakan hukum terasa lamban, dan rakyat kian ragu apakah sistem pemerintahan benar-benar bekerja untuk kepentingan mereka. Pertanyaan besar pun muncul, bagaimana membangun sistem yang tidak hanya terlihat rapi di atas kertas tetapi juga benar-benar hidup dalam praktik?
Salah satu jawaban yang muncul dari banyak diskusi akademik dan praktis adalah GoverTech, singkatan dari Government dan Technology. Penerapan teknologi dalam birokrasi diyakini mampu menekan biaya, mempercepat layanan publik, sekaligus mengurangi ruang bagi praktik korupsi. Contoh sederhana dapat dilihat dari penerapan sistem pajak digital yang meminimalisasi interaksi tatap muka antara wajib pajak dan petugas. Namun, teknologi saja tidak cukup. Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan keseriusan politik, GoverTech hanya akan menjadi sistem yang canggih di luar tetapi tetap rapuh di dalam.
Rotasi kepemimpinan birokrasi juga merupakan bagian penting dari perbaikan sistem. Terlalu lamanya seorang pejabat menduduki posisi strategis sering melahirkan jejaring kekuasaan yang sulit ditembus. Pada akhirnya, loyalitas kepada kelompok lebih kuat daripada loyalitas kepada negara. Rotasi yang sehat bukan berarti mengganti pejabat tanpa alasan jelas, melainkan memastikan tidak ada kekuasaan yang terlalu lama bercokol hingga melahirkan dominasi yang menghambat perubahan. Pemimpin publik seharusnya dipahami sebagai pengelola sementara, bukan pemilik kursi.
Selain teknologi dan rotasi, fondasi penting lainnya adalah kebijakan berbasis data. Selama ini, banyak kebijakan lahir dari retorika politik tanpa analisis yang memadai. Program-program besar diumumkan, baliho dipasang di jalan-jalan, tetapi ketika ditelisik lebih jauh, dampaknya minim. Kebijakan berbasis data menuntut keterbukaan akses bagi publik, agar masyarakat bisa ikut mengawasi dan menguji klaim pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah berbicara soal penurunan angka kemiskinan, data harus terbuka, metodologinya jelas, dan bisa diakses untuk diuji independen.
Namun, di balik gagasan ideal tersebut, realitas sering kali menunjukkan kontradiksi. Pemerintah memang membangun sistem digital, tetapi celah korupsi tetap terbuka. Ada biaya besar yang dikucurkan untuk membangun aplikasi atau infrastruktur birokrasi digital, tetapi ketika mentalitas pejabatnya masih koruptif, sistem tersebut mudah dipelintir. Kasus demi kasus menunjukkan bagaimana proyek digitalisasi justru menjadi ladang baru untuk penyalahgunaan anggaran. Selama korupsi merajalela, sebagus apa pun sistem dibuat, dampaknya tidak akan benar-benar sampai ke rakyat.
Rakyat pun kerap merasa hanya menjadi objek dari kebijakan, bukan subjek yang dilibatkan. Aturan ketat lebih mudah dijalankan kepada masyarakat kecil, sementara elite politik kerap lolos dari jerat hukum. Hukum di negeri ini sering digambarkan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Inilah yang menimbulkan rasa keterasingan di tengah masyarakat, mereka hidup dalam sistem yang seharusnya melindungi tetapi justru sering menindas. Demo marak, suara protes muncul, tetapi jawaban pemerintah sering hanya berupa himbauan agar masyarakat tidak anarkis. Sementara itu, aksi nyata memberantas korupsi kerap mandek di meja hijau.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan penting perlu diajukan. Apakah teknologi benar-benar mampu memutus rantai korupsi, atau hanya menjadi wajah baru dari penyalahgunaan kekuasaan? Sejauh mana rotasi jabatan bisa mencegah lahirnya dinasti birokrasi? Bagaimana memastikan bahwa data yang dipakai dalam kebijakan bukan sekadar legitimasi politik belaka? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya refleksi akademis, melainkan juga jeritan publik yang mulai kehilangan kepercayaan.
Di sisi lain, kita tidak boleh jatuh pada pesimisme total. Ada inisiatif positif yang patut diapresiasi, seperti keterbukaan data anggaran daerah, layanan administrasi online, hingga peningkatan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa perbaikan tetap mungkin dilakukan. Namun, semua itu membutuhkan keteladanan dari pucuk pimpinan. Pemimpin publik tidak boleh berlindung di balik jabatan untuk berbuat semena-mena. Demokrasi bukan sekadar prosedur, tetapi cerminan keberanian moral untuk menegakkan integritas.
Karena itu, reformasi birokrasi sejati tidak hanya berbicara soal sistem, melainkan juga manusia yang mengelolanya. GoverTech harus ditempatkan dalam kerangka moral yang kuat, rotasi jabatan harus didasari niat menjaga integritas, dan kebijakan berbasis data harus membuka ruang partisipasi publik. Pemerintah harus berani menindak tegas jajaran yang terlibat korupsi, bukan sekadar memasang spanduk larangan korupsi di jalan-jalan. Keberanian itu yang akan menentukan apakah rakyat kembali percaya, atau justru semakin apatis.