Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemerataan Berkeadilan Bukan Janji Tapi Kenyataan Nyata

3 September 2025   01:24 Diperbarui: 3 September 2025   01:24 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Tingey Injury Law Firm di Unsplash 

Artikel reflektif-analitis tentang pemerataan pembangunan berbasis inovasi, subsidi tepat sasaran, dan koperasi digital. Menggugah kesadaran publik serta pengambil kebijakan untuk mewujudkan keadilan sosial yang nyata.

Setiap bangsa bermimpi tentang keadilan sosial, tetapi tidak semua bangsa mampu mewujudkannya. Indonesia sering berbicara tentang pemerataan, namun kenyataan di lapangan masih menunjukkan jurang yang lebar antara pusat dan daerah. Rakyat di pelosok harus berjuang keras melewati birokrasi hanya untuk mendapatkan hak yang seharusnya mudah diperoleh. Pertanyaannya, apakah pemerataan akan selamanya menjadi jargon, atau dapat diwujudkan secara realistis? Artikel ini mencoba menguraikan jawaban melalui tiga gagasan kunci: desentralisasi inovasi, subsidi berbasis data, dan kebijakan ekonomi kolaboratif.

Pemerataan selalu menjadi kata yang terdengar indah dalam pidato politik. Namun, kenyataan di lapangan sering menunjukkan hal berbeda. Rakyat masih harus berhadapan dengan birokrasi yang panjang dan melelahkan hanya untuk mendapatkan hak-hak dasar. Banyak kebijakan publik berhenti pada janji, tanpa keberpihakan nyata pada rakyat. Ketika pengambil kebijakan lebih mementingkan dirinya atau kelompoknya, pemerataan hanya menjadi ilusi, sementara rakyat dipaksa bertahan hidup dengan apa adanya.

Di tengah situasi seperti ini, pertanyaan penting perlu diajukan: apakah pemerataan masih bisa diwujudkan secara realistis dan berkeadilan? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada tiga langkah strategis, yaitu desentralisasi inovasi, subsidi berbasis data, dan kebijakan ekonomi kolaboratif.

Selama ini pembangunan di daerah kerap dipandang semata dari sisi infrastruktur. Jalan dibangun, jembatan diperbaiki, dan fasilitas publik ditambah. Semua itu penting, tetapi tidak cukup. Pembangunan fisik hanya menjadi fondasi, bukan jawaban atas ketertinggalan.

Yang dibutuhkan adalah desentralisasi inovasi. Jika dana desa selama ini fokus pada infrastruktur, kini saatnya mengarah pada pembentukan laboratorium inovasi daerah. Tempat ini bisa menjadi pusat eksperimen pendidikan, teknologi, dan kewirausahaan. Anak-anak muda di daerah bisa berkreasi, menciptakan solusi lokal dengan dukungan fasilitas dan pendampingan yang memadai.

Contoh sederhana adalah sebuah desa yang mengandalkan hasil pertanian dapat mengembangkan teknologi penyimpanan modern agar produk mereka bertahan lebih lama. Atau komunitas nelayan bisa belajar memanfaatkan aplikasi digital untuk menjual hasil tangkapan langsung ke pasar yang lebih luas. Dengan cara ini, inovasi tidak lagi dimonopoli oleh kota besar, melainkan tumbuh dari akar rumput.

Pemerataan yang berkeadilan berarti memberi kesempatan pada setiap daerah untuk menjadi pusat kreativitasnya sendiri, bukan sekadar penerima kebijakan dari pusat.

Salah satu pengalaman paling melelahkan bagi rakyat kecil adalah ketika mereka harus berurusan dengan birokrasi panjang hanya untuk mendapatkan bantuan. Berkas harus diajukan, tanda tangan harus dikumpulkan, dan kadang mereka tetap pulang dengan tangan kosong. Rakyat sering kali terjebak dalam sistem yang lebih menguras tenaga daripada memberi kepastian.

Inilah mengapa subsidi berbasis data menjadi solusi penting. Dengan integrasi data kependudukan, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, bantuan bisa disalurkan langsung tanpa birokrasi berlapis. Rakyat yang memang berhak tidak perlu lagi berjuang membuktikan dirinya di depan meja aparat. Sistem digital yang transparan dan terhubung langsung ke data kependudukan akan memastikan keadilan distribusi.

Namun, pertanyaan besar tetap ada. Mampukah subsidi berbasis data benar-benar tepat sasaran di tengah kompleksitas birokrasi kita? Jawabannya bergantung pada kemauan politik untuk melakukan integrasi sistem dan keberanian memangkas kepentingan-kepentingan yang selama ini menghambat jalannya bantuan. Jika keberanian itu ada, subsidi tidak hanya menjadi angka dalam laporan, tetapi nyata dirasakan rakyat.

Ketika berbicara tentang pemerataan, sektor ekonomi menjadi salah satu titik krusial. Globalisasi telah membuka peluang besar, tetapi tanpa dukungan, rakyat kecil hanya menjadi penonton. Petani, nelayan, dan pengrajin sering kalah bersaing dengan jaringan besar yang menguasai rantai distribusi.

Pemerintah perlu menginisiasi koperasi digital modern. Berbeda dengan koperasi konvensional yang sering terjebak dalam birokrasi kaku, koperasi digital harus berbasis aplikasi, transparan, dan inklusif. Dengan platform digital, para pelaku usaha kecil dapat berkolaborasi, berbagi modal, dan mengakses pasar yang lebih luas.

Bayangkan seorang pengrajin bambu di Jawa Tengah yang bisa memasarkan produknya langsung ke pasar internasional melalui platform koperasi digital. Ia tidak lagi bergantung pada tengkulak, dan keuntungan bisa kembali sepenuhnya kepada komunitasnya.

Kebijakan ekonomi kolaboratif semacam ini bukan hanya soal keadilan ekonomi, tetapi juga transformasi cara rakyat kecil berpartisipasi dalam ekonomi global. Pemerataan menjadi nyata ketika semua orang punya kesempatan yang sama untuk tumbuh.

Tentu, gagasan-gagasan ini tidak lahir tanpa tantangan. Desentralisasi inovasi membutuhkan dana dan sumber daya manusia yang siap. Subsidi berbasis data menuntut integrasi teknologi yang kompleks serta transparansi birokrasi. Koperasi digital harus berhadapan dengan resistensi dari kelompok-kelompok lama yang sudah nyaman dengan sistem tradisional.

Tetapi, apakah karena sulit lalu kita berhenti? Tidak. Justru karena sulit, pemerataan harus diperjuangkan dengan strategi yang realistis. Pemerataan bukanlah proyek singkat, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan keberanian, inovasi, dan komitmen politik yang berpihak pada rakyat.

Pengalaman pribadi banyak rakyat menunjukkan betapa beratnya perjuangan mendapatkan hak mereka. Birokrasi yang panjang, rasa lelah, hingga harus menunggu belas kasihan aparat adalah kenyataan sehari-hari. Namun, rakyat tetap bertahan karena bantuan itu menjadi satu-satunya jalan untuk melanjutkan hidup.

Di sinilah letak urgensinya. Pemerataan seharusnya memberi kemudahan, bukan beban. Kebijakan publik harus mengalir langsung pada kepentingan rakyat, bukan berhenti di meja pengambil kebijakan. Jika pemerintah sungguh mengelola kepentingan rakyat sebesar-besarnya untuk rakyat, maka perputaran ekonomi akan berjalan lebih lancar dan adil.

Pemerataan yang realistis berarti membangun sistem yang memihak rakyat tanpa harus menunggu mereka menyerah pada birokrasi.

  • Bagaimana mewujudkan pemerataan yang tidak berhenti sebagai jargon politik?
  • Mampukah subsidi berbasis data benar-benar tepat sasaran di tengah birokrasi yang berlapis?
  • Bisakah koperasi digital dan laboratorium inovasi menjadi solusi nyata bagi daerah tertinggal, atau hanya akan menjadi proyek sesaat?

Pertanyaan-pertanyaan ini harus terus diajukan, agar setiap langkah pembangunan tidak terjebak dalam rutinitas administratif semata, melainkan sungguh-sungguh menghadirkan keadilan sosial.

Pemerataan bukanlah mimpi utopis. Ia bisa diwujudkan ketika inovasi tidak dimonopoli pusat, ketika subsidi benar-benar menyentuh mereka yang berhak, dan ketika ekonomi kolaboratif memberi ruang bagi rakyat kecil.

Pemerataan yang realistis dan berkeadilan adalah jalan panjang, tetapi bukan jalan buntu. Dengan keberanian politik, partisipasi masyarakat, dan transformasi digital, pemerataan bisa menjadi kenyataan yang membumi. Bukan lagi sekadar kata indah dalam pidato, melainkan napas kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun