Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Suara Komunitas Kota yang Terlupakan Pembangunan

15 Agustus 2025   04:33 Diperbarui: 15 Agustus 2025   04:33 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh William White di Unsplash 

Kisah komunitas kecil di kota yang terpinggirkan oleh pembangunan. Menggali kehilangan ruang, identitas, dan suara di tengah gedung-gedung yang menjulang.

Kota yang kita tinggali adalah rumah yang hidup, penuh dengan suara, warna, dan kisah yang membentuk identitasnya. Namun, di balik kemegahan gedung-gedung baru yang berdiri megah, ada sisi lain yang jarang terlihat. Suara-suara dari komunitas kecil yang pernah menjadi denyut nadi kota kini perlahan memudar. Mereka tetap ada, tetapi keberadaannya semakin terhimpit oleh arus pembangunan yang tidak selalu memberi ruang untuk semua orang.


Di antara celah beton yang menjulang, ada suara-suara yang tak lagi terdengar. Suara itu dulu mengalir dari mulut para tetangga yang saling menyapa, dari derit pintu warung yang dibuka sejak subuh, dari langkah kaki anak-anak yang berlari di gang sempit tanpa takut mobil mewah melintas. Kini, gema itu memudar, tertelan deru mesin bor dan denting logam yang bersahut-sahutan membangun wajah baru kota.

Bagi sebagian orang, ini adalah tanda kemajuan. Bagi sebagian lainnya, ini adalah kabar duka yang pelan-pelan mengaburkan jejak kehidupan yang pernah mereka kenal.

Pembangunan memang membawa cerita yang rumit. Di atas kertas perencanaan, ada garis-garis rapi yang menjanjikan akses lebih cepat, pemandangan lebih megah, dan peluang ekonomi yang lebih besar. Tetapi di luar pagar proyek yang dibungkus terpal, ada kehidupan yang terhimpit dan berjejal di ruang yang kian menyempit.

Di sebuah sudut kota, saya pernah berdiri di depan rumah kayu yang tersisa di antara dua bangunan raksasa. Dindingnya kusam, catnya memudar, namun halaman kecilnya dipenuhi tanaman pot yang dirawat penuh kasih. Pemilik rumah itu, seorang perempuan berusia lima puluhan, bercerita lirih tentang tetangganya yang dulu mengisi deretan rumah ini. Satu per satu pergi, tergantikan papan reklame "Investasi Apartemen Masa Depan".

"Saya tidak menolak kemajuan," katanya sambil menatap langit yang terpotong siluet gedung. "Tapi mengapa kemajuan itu seperti mengusir kami dari cerita kota ini?"

Di balik narasi pembangunan yang dibanggakan, ada kebijakan urban yang sering kali memihak pada beton, bukan pada manusia. Komunitas kecil yang memiliki sejarah panjang menjadi catatan kaki yang mudah dihapus. Kearifan lokal yang dahulu menjaga ritme hidup warga kini kalah oleh jadwal proyek yang dikejar tenggat.

Saya teringat masa kecil, ketika kata "kota" berarti derap kaki yang akrab, pasar yang riuh dengan tawar-menawar, dan gotong royong yang bukan hanya kata di spanduk, melainkan napas sehari-hari. Sekarang, gotong royong lebih sering muncul di baliho daripada di halaman rumah.

Suara warga mungkin masih terdengar, tetapi sering kali hanya sampai di meja rapat yang sudah lebih dulu dipenuhi proposal-proposal yang menguntungkan kelompok tertentu. Mereka mendengar, tetapi tidak benar-benar mendengarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun