Kini, dengan teknologi dan kendaraan yang semakin canggih, jarak memang terasa dekat. Namun, kedekatan fisik ini dibayar dengan jauhnya interaksi sosial.Â
Kita mungkin bisa mencapai titik tertentu dalam hitungan menit, tapi kehilangan kesempatan melihat wajah-wajah yang biasanya kita temui di sepanjang jalan.
Bayangkan sebuah kota di mana trotoar lebar, teduh oleh pepohonan, dan aman dari kendaraan. Bayangkan jalan raya yang membagi ruang secara adil: jalur sepeda yang jelas, trotoar yang terawat, dan kecepatan kendaraan yang diatur demi keselamatan semua orang. Bayangkan jika setiap pembangunan jalan baru harus memikirkan "jejak langkah" sebanyak "deru mesin".
Mungkin itu terdengar utopis, tapi banyak kota di dunia yang sudah membuktikan bahwa keberpihakan pada pejalan kaki justru membuat kota lebih hidup.
Kota yang ramah pejalan kaki mendorong interaksi sosial, menurunkan polusi, dan bahkan meningkatkan ekonomi lokal.
Saat kembali melangkah di trotoar sempit itu, aku sadar bahwa perubahan tak akan datang hanya dari keluhan. Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk melihat bahwa jalan bukan hanya milik kendaraan. Kota seharusnya menghitung langkah kaki, bukan sekadar jumlah roda yang berputar.
Lalu, aku kembali bertanya: jika kota dibangun untuk mobil, di mana tempat manusia berjalan, berhenti, dan saling menyapa?
Â
Sebuah kota yang sehat bukanlah kota yang hanya mampu mempercepat kendaraan, tetapi kota yang memberi ruang aman dan layak bagi setiap langkah manusia.Â
Trotoar yang terjaga, udara yang bersih, dan interaksi sosial yang hidup adalah indikator kesejahteraan yang tak kalah penting dari panjang jalan atau jumlah kendaraan.
Kita mungkin tidak bisa mengubah kota dalam semalam, tetapi kita bisa mulai dari kesadaran sederhana bahwa jalan adalah milik semua, bukan hanya mesin yang melintas.