Artikel reflektif yang mengkritisi pembangunan kota yang lebih memprioritaskan kendaraan bermotor daripada pejalan kaki, membahas hilangnya ruang interaksi manusia, serta dampaknya terhadap keselamatan dan kualitas hidup masyarakat perkotaan.
Di setiap denyut kehidupan perkotaan, jalan raya menjadi nadi yang menghubungkan satu titik dengan titik lainnya.
Namun, di balik laju kendaraan yang tak pernah berhenti, ada langkah-langkah kaki yang terpaksa menepi, terhimpit, dan terlupakan.
Pejalan kaki, yang seharusnya menjadi bagian vital dari wajah kota, kini kerap dianggap penghalang alur lalu lintas.
Cerita ini bukan hanya tentang perjalanan di trotoar yang sempit, tetapi juga tentang hilangnya ruang untuk berdiam, menyapa, dan merasakan kehidupan yang sebenarnya ingin kita jalani.
Di suatu pagi, aku melangkah menyusuri trotoar yang sempit, hanya selebar tubuhku sendiri.
Di sisi kiri, deretan motor terparkir menutup jalur, memaksaku melangkah turun ke jalan. Di sisi kanan, pedagang kaki lima menjajakan dagangan mereka, seolah trotoar ini bukanlah jalur pejalan kaki, melainkan ruang dagang yang dibiarkan begitu saja.
Di depanku, deru kendaraan tak pernah berhenti. Klakson bersahut-sahutan, asap knalpot menebar bau logam panas yang menusuk hidung.
Di tengah hiruk pikuk itu, aku bertanya dalam hati: jika kota dibangun untuk mobil, di mana tempat manusia berjalan, berhenti, dan saling menyapa?
Pembangunan kota di negeri ini seolah tunduk pada satu logika: percepat laju kendaraan, perlebar jalan raya, biarkan ruang pejalan kaki mengecil perlahan.Â