Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menanam Empati di Tengah Retaknya Jembatan Sosial

11 Agustus 2025   04:28 Diperbarui: 11 Agustus 2025   04:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Khadeeja Yasser di Unsplash 

Saya teringat pada pertemuan dengan seorang teman lama di sebuah taman kota. Kami berbeda keyakinan dan cara pandang. Namun sore itu, kami duduk bersebelahan, membicarakan hidup sambil memandangi matahari tenggelam. Tidak ada upaya untuk menentukan siapa yang benar. Hanya ada kesediaan untuk mendengar dan didengar. Dalam percakapan itu, saya menyadari bahwa hati manusia memiliki cara untuk saling mengenali lewat rasa yang sama meskipun bahasa dan wajahnya berbeda.

Empati tidak selalu berbuah langsung. Terkadang kita menanamnya di tanah yang masih terlalu kering sehingga butuh waktu lama sebelum tunas muncul. Namun itu bukan alasan untuk berhenti. Jika kita terus mengandalkan prasangka, retakan akan melebar dan pada akhirnya kita semua akan terperangkap di sisi yang sama-sama kehilangan. Sebaliknya, jika kita sabar menyirami, menghubungkan, merangkai, dan merawat, suatu hari kita akan melihat akar-akar halus itu menembus tanah, mencari air, dan menguatkan pohon yang tumbuh.

Tentu akan ada kekecewaan dalam perjalanan ini. Tidak semua orang menyambut niat baik kita. Ada yang menolak bahkan sebelum kita mengetuk pintu. Ada pula yang menganggap empati adalah kelemahan, padahal sebaliknya. Tetapi di antara penolakan itu, akan selalu ada satu atau dua hati yang terbuka. Dari sanalah perubahan dimulai, pelan namun nyata.

Membangun empati lintas kelas, agama, dan budaya bukanlah pekerjaan sehari atau setahun. Ini adalah proses seumur hidup dan sebuah komitmen yang diuji setiap kali kita dihadapkan pada perbedaan. Empati menuntut kita untuk bertanya. Apakah aku benar-benar tahu cerita di balik sikap orang ini atau aku hanya mengisi kekosongan dengan prasangkaku sendiri. Pertanyaan sederhana ini dapat mengubah arah hubungan kita dengan orang lain.

Menanam empati di tanah yang kering memang tidak mudah. Namun seperti pohon kecil yang berjuang di tanah retak, akar kita dapat menemukan air jika kita cukup gigih mencarinya. Mungkin, di suatu masa depan yang tidak terlalu jauh, tanah yang dulu kering oleh prasangka akan menjadi kebun di mana kita semua bisa duduk bersama tanpa takut pada perbedaan yang dahulu memisahkan.

Empati bukan sekadar kata indah dalam buku, ia adalah kerja harian yang mengubah cara kita memandang orang lain. Di tengah masyarakat yang mudah terpecah, setiap upaya untuk memahami dan terhubung adalah langkah kecil yang berarti. Kita tidak selalu bisa mengubah dunia sekaligus, tetapi kita selalu bisa memulai dari satu hati. Dan dari hati itu, jembatan-jembatan baru dapat tumbuh kembali di atas tanah yang dulu kering oleh prasangka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun