Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menanam Empati di Tengah Retaknya Jembatan Sosial

11 Agustus 2025   04:28 Diperbarui: 11 Agustus 2025   04:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Refleksi tentang membangun empati lintas kelas, agama, dan budaya di tengah masyarakat yang rentan terpecah oleh prasangka dan luka sejarah.

Di sebuah dunia yang semakin terhubung namun sering terasa semakin jauh, empati menjadi barang langka. Kita hidup berdampingan tetapi sering gagal untuk benar-benar saling melihat. Perbedaan yang seharusnya menjadi kekayaan justru berubah menjadi jurang yang memisahkan. Dari jarak inilah lahir prasangka, yang perlahan mengeringkan tanah sosial kita. Pertanyaannya, masihkah mungkin menanam benih empati di lahan yang tampak tandus ini?

Tanah yang kering tidak selalu mati. Ada benih yang mampu bertahan di sana, menunggu waktu yang tepat untuk tumbuh. Empati pun demikian. Ia sering terkubur di bawah lapisan prasangka, luka lama, dan jarak sosial yang dibentuk oleh sejarah maupun kepentingan sesaat. Namun seperti akar yang mencari air di kedalaman tanah, empati selalu memiliki jalan untuk menemukan sumber hidupnya jika kita mau memberinya kesempatan.

Masyarakat kita adalah mozaik yang indah sekaligus rapuh. Ada pertemuan warna, suara, dan keyakinan yang membentuk wajah pluralisme. Namun di sela-selanya, terdapat retakan yang bisa melebar kapan saja. Retakan itu sering bermula dari hal kecil seperti candaan yang menyinggung, berita yang dibelokkan, atau kebijakan yang dirasa memihak. Dari percikan kecil, api bisa membesar dan merugikan semua pihak. Yang paling berbahaya adalah ketika masyarakat bergerak mengikuti arus tanpa sempat berpikir panjang. Padahal, pikiran adalah pelita hati yang semestinya menuntun langkah.

Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana prasangka memutus jembatan yang telah lama dibangun. Dalam sebuah forum lintas komunitas, seorang peserta terlambat datang. Alasannya sederhana, ia terjebak macet. Namun rumor yang beredar berbeda. Ada yang mengatakan ia sengaja datang terlambat karena menganggap acara itu tidak penting bagi kelompoknya. Dalam hitungan jam, ruang yang awalnya hangat berubah kaku. Sapaan menjadi singkat dan kepercayaan yang dibangun perlahan runtuh hanya karena asumsi yang tidak pernah dikonfirmasi.

Dari pengalaman itu saya belajar bahwa prasangka adalah tanah kering yang keras. Jika kita menanam benih empati di atasnya tanpa persiapan, benih itu akan mati. Kita perlu menggemburkan tanah itu, menyiraminya, dan memastikan akar dapat menembus lapisan yang membatu. Menggemburkan tanah, dalam kehidupan sosial, berarti membuka ruang untuk mendengar tanpa segera menghakimi. Menyiraminya berarti memberi waktu dan perhatian untuk memahami alasan di balik tindakan orang lain.

Empati bukan sekadar memahami perasaan orang lain. Ia adalah kemampuan untuk masuk ke dunia orang lain tanpa membawa senjata, tanpa baju pelindung, dan tanpa niat mengubahnya sesuai keinginan kita. Empati mengharuskan kita melepaskan kebanggaan kelas, identitas agama, atau budaya yang kerap membuat kita merasa lebih benar. Ini sulit, apalagi di tengah dunia yang semakin terbagi oleh label. Namun di situlah letak tantangannya.

Banyak yang menganggap empati adalah sifat bawaan. Jika tidak ada sejak lahir, maka tidak bisa dipelajari. Saya tidak sependapat dengan pandangan itu. Empati adalah keterampilan yang dapat dilatih seperti belajar bahasa. Ia memerlukan kosakata emosional, latihan mendengarkan, dan keberanian untuk salah. Sama seperti kita dapat belajar mengucapkan kata terima kasih dalam bahasa asing, kita juga dapat belajar mengatakan aku mengerti kepada seseorang yang berbeda keyakinan atau latar belakang.

Sayangnya, ada pihak yang sengaja membuat tanah sosial kita tetap kering. Mereka memanipulasi isu-isu kecil untuk kepentingan kelompok tertentu, membakar sentimen yang seharusnya bisa padam, dan memanfaatkan ketidaktahuan publik. Saat masyarakat kurang membaca, kurang berdiskusi, dan jarang menguji informasi, mereka menjadi lahan subur bagi bibit kebencian. Satu rumor dapat tumbuh menjadi tembok pemisah. Padahal, dengan belajar dan memperluas wawasan, kita dapat memahami perasaan, pikiran, dan pendapat kelompok lain sehingga persatuan tetap terjaga.

Ada satu prinsip yang selalu saya pegang. Kita tidak bisa menuntut orang untuk berubah jika kita sendiri enggan beranjak dari tempat yang sama. Menanam empati berarti siap berjalan lebih dekat ke wilayah orang lain, meskipun kita tidak yakin akan disambut hangat. Kadang, perjalanan itu membuat kita melewati medan yang asing atau pintu yang tertutup. Namun sering kali, pintu itu hanya terkunci dari luar karena tidak ada yang pernah mencoba membukanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun