Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka Pekerja Jalanan untuk Warga Kota

4 Agustus 2025   22:32 Diperbarui: 4 Agustus 2025   22:32 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Carl Campbell di Unsplash 

Sebuah surat terbuka fiktif dari pekerja jalanan kepada warga kota, yang menggugah empati dan mengungkap realitas di balik wajah keteraturan urban.

 Malam setelah hujan seringkali membawa keheningan yang tak biasa. Di bawah lampu jalan, gerobak-gerobak sederhana kembali berdiri, seolah waktu tak pernah meminta istirahat dari para pekerja informal. Kota tampak rapi, namun di balik keteraturan itu, ada suara yang kerap tak terdengar. Suara dari mereka yang hidup di pinggir keteraturan, namun tetap memberi napas pada kehidupan kota. Artikel ini adalah sepucuk surat fiktif dari mereka untuk Anda, warga kota yang terhormat.

(Sebuah surat fiktif dari tubuh kota yang tak pernah benar-benar dipandang)

Kepada Warga Kota yang Terhormat,

Malam ini hujan baru saja reda. Bau tanah basah masih lekat di udara. Tanaman-tanaman di trotoar seperti bernapas lega. Di bawah cahaya lampu jalan, gerobak mie ayam, bubur ayam, dimsum, dan sate mulai kembali disusun rapi. Para pembeli berdatangan, sebagian besar keluarga muda, atau pekerja yang baru pulang. Senyum mereka sama indahnya dengan semerbak kuah kaldu hangat yang mengepul dari mangkuk-mangkuk plastik.

Saya menulis surat ini bukan sebagai keluhan, bukan pula sebagai permintaan. Saya menulis sebagai bagian dari tubuh kota ini. Kami ini bagian yang sering disingkirkan dari brosur wisata dan peta zonasi, namun tetap hadir setiap hari, menjaga denyut kecil dari sudut-sudut kota.

Nama saya tidak penting. Tapi mungkin Anda pernah melihat saya, meski tak pernah benar-benar memandang. Saya bisa seorang penjual gorengan di pinggir jalan, atau tukang kopi keliling di sore hari. Bisa juga seorang pemulung yang menarik gerobak saat langit masih gelap. Kami ini bukan hanya pengais rezeki, tapi juga penafsir diam-diam dari keteraturan yang Anda nikmati.

Kota ini tampak rapi karena ada garis-garis yang Anda percaya harus dijaga. Tapi pernahkah Anda bertanya, garis siapa yang sedang dijaga? Atau siapa yang harus mengalah agar garis itu tak dilanggar?

Saya tahu, keteraturan adalah idaman. Jalan yang lancar, trotoar yang bersih, parkir yang tertata. Itu hak Anda. Tapi bagaimana dengan hak kami untuk bertahan? Ketika tempat kami berjualan dianggap mengganggu arus lalu lintas, padahal kami hanya menyambung hidup. Ketika kami diminta pindah ke tempat yang "resmi", namun biaya sewanya masih terlalu tinggi, walaupun katanya "terjangkau".

Beberapa dari kami memang telah berpindah ke sentra perdagangan yang Anda kunjungi malam ini. Kami bayar sewa, kami urus izin, kami belajar patuh. Tapi keteraturan bukan hanya soal tempat yang tetap. Keteraturan juga soal pandangan yang adil. Ketika pemerintah kota mulai mengatur zonasi dan menyediakan akses untuk pengunjung, kami merasa dihargai. Tapi sayangnya, tidak semua teman kami seberuntung itu. Masih banyak yang harus berpindah-pindah, dikejar, digusur, dan kadang sambil memunguti dagangan yang terjatuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun