Â
Sebuah refleksi kontemplatif tentang budaya instan yang mencerminkan kecemasan kolektif, haus validasi, dan krisis makna atas proses hidup yang lambat namun membentuk.
Panas siang menyengat jalanan kota, angin hanya lewat sebentar lalu hilang. Di balik kaca mobil yang tak bergerak karena macet, aku menyaksikan peristiwa-peristiwa kecil yang membisikkan ironi: orang-orang makan terburu-buru, urusan negara diselesaikan di meja makan, dan waktu seolah menjadi musuh bersama. Dalam dunia yang terus mempercepat segalanya, kita perlahan lupa bagaimana caranya menunggu. Barangkali yang hilang bukan hanya kesabaran, tapi juga kepercayaan pada proses itu sendiri. Lalu, kita pun bertanya dalam diam, apakah kecepatan benar-benar membawa kebahagiaan? Ataukah hanya mempercepat hilangnya makna?
Siang itu terik. Jalanan padat, mesin-mesin mobil menderu pelan tanpa bergerak. Angin sepoi-sepoi berusaha menyusup ke sela-sela kaca jendela yang tertutup rapat. Dari balik kemudi, aku memperhatikan orang-orang di warteg pinggir jalan yang tampak terburu-buru menyantap makanannya. Di seberang, sebuah restoran mewah juga penuh. Namun yang mengejutkan bukan antrean makan siang, melainkan pertemuan di meja pojok. Dua pria berseragam duduk bersama seseorang yang seharusnya mereka audit. Dengan santai, mereka tertawa, menyusun angka, menutup berkas, dan menyelesaikan persoalan sebelum makanan penutup disajikan.
Apa yang sedang kita jalani ini?
Mungkin kita tidak sedang malas berproses, hanya takut tidak sampai-sampai. Takut tertinggal. Takut waktu habis sebelum kita sempat merasa cukup. Maka kita memilih jalan pintas, apa pun yang bisa mempercepat pencapaian, meski harus menempuh cara-cara yang samar dan tidak utuh.
Budaya instan bukan hanya perkara kepraktisan. Ia adalah cermin dari luka batin kolektif, dari ketergesaan yang lahir karena dunia seolah tidak memberi kita waktu untuk bernapas. Validasi menjadi mata uang baru. Siapa yang terlihat berhasil lebih dulu, dialah yang dianggap benar. Maka proses dipersepsi sebagai keterlambatan, sebagai kegagalan terselubung yang tidak sempat mencapai garis akhir.
Kita hidup dalam zaman di mana menunggu terasa seperti kesalahan. Segala sesuatu harus serba cepat: karier, cinta, jawaban pesan, bahkan pencarian jati diri. Padahal, bukankah yang paling bernilai justru lahir dari kesabaran?
Seorang teman pernah berkata, "Kalau ada cara yang lebih cepat meskipun harus bayar lebih, kenapa harus buang waktu?" Ia sedang berbicara tentang jasa calo yang menyelesaikan urusan administrasi negara, dari mengurus SIM hingga menyulap angka denda. Baginya, waktu adalah uang. Proses adalah penghambat. Tapi yang lebih menyedihkan bukan pendapatnya, melainkan kenyataan bahwa sistem membiarkan pintu itu terbuka. Para petugas yang seharusnya menjadi penjaga proses justru ikut menjadi fasilitator percepatan ilegal. Uang resmi disetorkan sesuai aturan, sisanya diam-diam masuk ke kantong pribadi. Semua orang tahu. Tapi tidak ada yang bicara.
Mungkin karena kita semua, diam-diam, menyukai jalan pintas.