Refleksi tentang budaya healing instan yang menutupi luka. Apakah kita benar-benar sembuh, atau hanya sibuk mengalihkan rasa sakit?
"Hujan turun pelan pagi ini, seperti suara batin yang perlahan ingin didengar. Kita sering merasa sembuh, padahal hanya sedang menghindar dari luka yang belum selesai."
Hujan turun pelan pagi ini, seperti suara batin yang pelan-pelan ingin didengar. Awalnya hanya rintik ringan, kemudian berhenti sejenak, lalu kembali turun lebih deras. Irama itu seperti napas kita yang tak teratur, sesekali menahan, sesekali mengalir, tetapi jarang benar-benar tenang. Aku duduk diam sambil mengingat sesuatu yang belum selesai. Bukan satu hal, tetapi banyak hal yang saling bertumpuk. Seperti lembar-lembar tugas batin yang tak pernah benar-benar rampung, hanya berpindah dari satu ruang ke ruang lain.
Kita terbiasa berpindah sebelum selesai. Saat satu luka mulai terasa pedih, kita bergegas mencari kegiatan lain agar tidak sempat memikirkannya. Ketika sebuah pertanyaan batin muncul, kita segera menyalakan musik, membuka video motivasi, atau mengatur jadwal liburan. Kita menyebutnya healing, seolah-olah itu jawaban atas segala rasa sesak yang tak punya nama. Padahal, dalam banyak kasus, kita hanya sedang mengalihkan diri dari rasa yang seharusnya diberi ruang.
Banyak orang merasa telah menyembuhkan diri hanya karena berhasil tertawa dalam akhir pekan yang penuh swafoto. Kita mulai mengukur ketenangan dari seberapa banyak perjalanan yang bisa dibagikan, seberapa estetik sudut kamar, atau seberapa positif caption yang kita tuliskan. Namun diam-diam, kita tahu bahwa malam tetap terasa sepi, dan pikiran tetap berisik. Kita hanya menjadi ahli dalam menunda rasa, bukan menghadapinya.
Aku pernah mencoba lari dari satu masalah ke masalah lain. Ketika yang pertama belum selesai, aku memilih menyibukkan diri dengan hal baru. Kupikir, menyelesaikan masalah baru bisa membuat masalah lama terlupakan. Namun nyatanya, pola itu hanya menggali lubang yang sama. Masalah baru itu pun tidak kunjung selesai, dan aku kembali merasa kewalahan. Satu per satu masalah itu meminta haknya untuk dihadapi, dan aku tidak bisa terus-menerus memintanya menunggu.
Healing sering kali menjadi bentuk pelarian yang dikemas rapi. Kita diajak menyembuhkan diri dengan cepat, seakan-akan luka adalah sesuatu yang bisa ditambal dengan kutipan singkat atau video motivasi berdurasi satu menit. Kita terbuai oleh kalimat manis yang viral, seperti “kamu kuat,” “percaya saja semua akan baik-baik saja,” atau “segala sesuatu terjadi karena alasan.” Padahal, tidak semua luka butuh disemangati. Banyak luka justru ingin diakui keberadaannya, ingin ditatap, bukan ditutupi oleh senyum yang dipaksakan.
Mengapa kita begitu takut untuk diam? Mungkin karena dalam diam, luka menjadi jelas. Dalam senyap, suara hati lebih keras terdengar. Kita takut kepada rasa sakit, bukan karena lukanya terlalu besar, tetapi karena kita tidak terbiasa merawatnya perlahan. Kita ingin semua segera beres, segera tenang, segera bahagia. Padahal, penyembuhan bukan perkara kecepatan, melainkan kedalaman. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan potong kompas.
Seperti duri ikan yang tersembunyi dalam daging, masalah hidup pun sering kali tidak terlihat dari permukaan. Jika kita terlalu tergesa menyingkirkannya, bisa jadi luka baru justru tercipta. Kita perlu belajar memetakan luka dengan jujur, memahami akarnya, bukan hanya menyingkirkan daunnya. Penyelesaian masalah butuh proses. Ia tidak akan selesai hanya karena kita menyibukkan diri, atau menuliskan kalimat positif yang kita sendiri belum benar-benar yakini.
Banyak dari kita merasa sudah pulih padahal hanya sedang tidak ingat. Banyak dari kita merasa sudah ikhlas padahal hanya sedang lelah. Dan banyak dari kita merasa sudah dewasa padahal hanya sedang pandai menyembunyikan. Kita terbiasa tampil baik, tampil tenang, tampil penuh syukur. Namun di balik semua itu, ada gema sunyi yang tak sempat dipeluk. Ada doa yang terhenti di tengah kalimat. Ada air mata yang ditahan agar tidak merusak riasan kebahagiaan.
Pertanyaannya, apakah kita sungguh sedang menyembuhkan diri, atau justru sedang memperdalam luka yang tak selesai dengan cara yang lebih halus? Apakah kita sungguh menyentuh inti kegelisahan, atau hanya memoles permukaannya dengan aktivitas yang terlihat menyenangkan?
Barangkali, inilah saatnya kita berhenti sejenak. Duduk bersama luka, bukan untuk mengasihani diri, tetapi untuk menyapanya sebagai bagian dari perjalanan. Tidak semua yang sakit harus segera dibuang. Tidak semua yang berat harus segera dihindari. Ada yang memang perlu dilalui, pelan-pelan, tanpa tergesa menutup bab.
Pagi ini hujan kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Namun aku tidak tergesa bangkit. Ada ketenangan baru saat membiarkan diri diam di antara riuh. Mungkin, inilah yang disebut memeluk luka. Bukan untuk memenangkannya, bukan untuk melupakannya, tetapi untuk mengakui bahwa aku masih manusia, dan manusia memang bisa terluka. Yang penting bukan seberapa cepat sembuhnya, tetapi seberapa jujur kita menjalani prosesnya.
Menyembuhkan bukan soal kecepatan, tapi kejujuran untuk diam, menyapa luka, dan membiarkannya sembuh dengan pelan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI