"Penestanan, tempat di mana tradisi Bali hidup berdampingan dengan keindahan alam yang menenangkan jiwa, serta tawaran pengalaman wisata budaya dan spiritual yang tak terlupakan" (WG. Suacana)
Penestanan adalah sebuah wilayah destinasi wisata budaya, spiritual dan alam yang berstatus desa adat dan terletak di desa Sayan berjarak sekitar 4 km dari pusat kota Ubud, Bali. Penestanan dikenal sebagai desa seniman sejak tahun 1930-an, dengan tokoh seniman luar negeri yang pernah tinggal di sana, seperti Walter Spies (pelukis, pianis, konduktor, etnolog, sejarawan dan kolektor dari Jerman dan pernah menetap lama di kota Moskow), Arie Smit (pelukis dari Belanda yang kemudian menetap dan berkarya di Ubud), Antonio Maria Blanco (pelukis keturunan Spanyol dan Amerika yang memperistri Ni Ronji dari Penestanan), Datuk Lim Chong Keat (tokoh perintis dalam sejarah arsitektur pascakemerdekaan Singapura), dan Johan Rudolf Bonnet (pelukis berkebangsaan Belanda yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Ubud, yang juga punya cukup pengaruh corak lukisan di Desa Penestanan, khususnya Banjar Penestanan Kelod). Wilayah ini juga dikenal karena pemandangan sawah yang luas dan jalan-jalan yang tenang, menciptakan suasana pedesaan yang damai, mendatangkan inspirasi sehingga cocok untuk bersantai, menulis buku atau liburan. Sampai sekarang desa ini masih mempertahankan tradisi seni dan budaya lokal oleh para seniman dengan mengadakan pertunjukan seni dalam berbagai kegiatan ritual keagamaan. Beberapa destinasi wisata alam dan spiritual juga dapat dijumpai di sana.
Menurut penuturan para orang tua (penglingsir) di Penestanan disebutkan wilayah Penestanan pada mulanya adalah hutan belantara yang merupakan tepisiring atau wilayah perbatasan antara kerajaan Ubud dengan kerajaan Mengwi. Sedangkan tempat permukiman penduduk saat itu ada di wilayah Pacekan yang sekarang lebih dikenal dengan nama Subak Pacekan yaitu daerah persawahan yang berada di sebelah timur Penestanan.
Keberadaan wilayah Penestanan tidak terlepas dari adanya perjalanan Maharsi Mārkaṇḍeya, seorang maharsi pemuja Siwa dan Wisnu yang berasal dari tanah India Selatan ke Pulau Bali. Beliau merupakan putra Merkandu dan Marudmati dan disebutkan beberapa kali dalam kisah-kisah Mahabharata dan Purana.
Pada kali pertama melakukan perjalanan ke Bali, Maharsi Mārkaṇḍeya telah mempersiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah 800 orang, yang terdiri dari orang-orang (Wong) Aga. Beliau berangkat menuju arah timur dengan tempat tujuan pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Beliau turun di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung atau Gunung Tolangkir untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi banyak murid-murid beliau terkena wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam binatang buas seperti harimau, singa, dan ular. Ada juga yang hilang tanpa jejak dan tidak sedikit yang menjadi gila. Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Maharsi Mārkaṇḍeya yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya sekitar 200 orang saja bisa bertahan hidup. Mereka mendiami wilayah-wilayah di sekitar perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah, yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Akibat kejadian tersebut Beliau memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung di Jawa Timur untuk meminta petunjuk.
Dari hasil semedi Beliau di Gunung Raung diketahui bahwa penyebab pengikutnya banyak meninggal karena belum dilaksanakan upacara agama yaitu menanam panca datu yang terdiri dari lima jenis logam yaitu emas, perak, perunggu, tembaga, dan besi. Setelah mengetahui hal tersebut Maharsi Mārkaṇḍeya lalu kembali berangkat ke Bali didampingi oleh 400 pengikut yang berasal kaki gunung Raung di Jawa Timur. Pertama-tama Beliau menuju kaki Gunung Agung untuk melaksanakan upacara penanaman panca datu. Setelah upacara selesai dilakukan pengikut Beliau semua selamat dan tempat dilaksanakan upacara penanaman panca datu itu kemudian berkembang menjadi Pura Besakih. Maharsi Mārkaṇḍeya kemudian melanjutkan perjalanan ke arah perbukitan kecil atau Gunung Lebah di sebelah barat, di wilayah sekitar Ubud. Oleh karena saat itu belum ada jalan, beliau dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Aga menyusuri aliran sungai untuk bermeditasi. Di aliran sungai dimana Beliau sering melakukan penyucian dan merasakan air sungai tersebut memiliki kekuatan penyembuhan. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Wos, kependekan dari kata wosada atau usada. Dalam perkembangannya, kata usada kemudian beradaptasi menjadi kata Ubad atau Ubud dalam bahasa Bali yang berarti obat. Pada pertemuan kedua aliran sungai di sana (campuhan) Maharsi Mārkaṇḍeya bersama pengikutnya kemudian mendirikan Pura Payogan Agung Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat Maharsi Mārkaṇḍeya melakukan penyucian diri agar bisa terhindar dari segala malapetaka atau tempat panglukatan dasamala.
Maharsi Mārkaṇḍeya memerintahkan pengikutnya untuk membabat hutan disekitar tempat itu untuk dijadikan permukiman. Pemberian tanda atau patok juga dilakukan, dimana sebelah barat tempat tersebut diberi nama Pacekan. Setelah berhasil membabat hutan dan membuka lahan baru maka tanah itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang atau sebagai tempat permukiman. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa adat bernama Puakan yang berlokasi di Desa Taro Kecamatan Tegallalang.
Kawasan Pacekan pernah diserang oleh kawanan semut sehingga penduduknya mengungsi dengan memindahkan tempat pemujaannya ke sebelah barat sungai Wangsuh (Blangsuh) yang merupakan aliran sungai yang melalui pangkung siap-siapan. Pada saat itu tempat ini masih berupa hutan.
Menurut Jero Mangku Desa Penestanan, nama Penestanan berasal dari kata "Penastan" yang berarti tempat air suci atau air amertha atau wangsuh Ida Bhatara yang digunakan dalam setiap pemujaan . Tempat atau lokasi permukiman ini diberi nama "Penastan" karena di lokasi ini terdapat sungai kecil yang bernama sungai Wangsuh yang lebih dikenal dengal nama tukad Blangsuh. Ada perspektif lain yang diberikan oleh Jero Kelihan Adat Banjar Penestanan Kaja. Nama Penestanan semula berasal dari kata "sthana" (स्थान) dalam bahasa sanskerta yang berarti "tempat" atau "posisi" atau "linggih" yakni "linggih" Maharsi Mārkaṇḍeya. Dari kata "sthana"+n menjadi stanan yang menunjukkan milik Maharsi Mārkaṇḍeya, lalu berkembang menjadi ne+stanan atau inilah stanan Maharsi Mārkaṇḍeya, dan pada akhirnya menjadi Penestanan.