Mohon tunggu...
I Wayan Gede Suacana
I Wayan Gede Suacana Mohon Tunggu... Pembelajar, Pengamat Sosial Budaya, Peminat Yoga Asana dan Meditasi

Mengembangkan literasi lewat tradisi baca tulis untuk aktualisasi diri, serta yoga asana meditasi untuk realisasi diri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Sabak atau Karas, Buku Tulis Zaman Dulu

12 Februari 2025   10:23 Diperbarui: 12 Februari 2025   10:37 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sabak/ Karas, Alat Tulis Jaman Dulu (Sumber: Wikipidea)

Masa-masa sekolah adalah masa yang paling mengesankan. Betapa tidak, masa itu banyak menyimpan kenangan yang tidak terlupakan. Betapa tidak,   ketika aku bersekolah di SD 1 Sayan Ubud, yang  kemudian menjadi SD 1 Kedewatan Ubud Gianyar Bali pada tahun 1973 s.d. 1979 sistem pembelajaran waktu itu tentu tidak seperti sekarang.

Alat tulis yang dipergunakan sampai aku kelas 2 adalah sabak atau dikenal juga dengan nama karas. Sabak/ karas adalah buku tulis zaman dulu yang digunakan untuk menulis sebelum adanya buku tulis seperti sekarang.

Foto: Sabak atau Karas (Sumber: Satujam.com)
Foto: Sabak atau Karas (Sumber: Satujam.com)
Sabak atau Karas

Di era modern ini, kita sudah terbiasa dengan buku tulis yang terbuat dari kertas dan memiliki cover yang menarik. Namun, bagi generasi yang lahir tahun 1980-an ke atas mungkin tidak semua mengenalnya lagi. Di masa lalu, buku tulis pernah dibuat dari bahan yang lebih sederhana dan unik, seperti karas atau sabak.

Sabak atau karas bentuknya mirip dengan tablet masa kini lho, sehingga tablet kerap disebut juga e-sabak.

Sabak/ karas terbuat dari lempengan batu karbon yang dicetak lempengan segi empat dan ditulisi dengan menggunakan alat tulis grip (mirip pensil). Jangan pernah membayangkan bisa menyimpan catatan pelajaran dalam sabak/ karas. Alat tulis ini hanya digunakan sementara waktu untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru yang kala itu menuntut siswa harus punya kemampuan menghafal. Setelah selesai, sabak/karas mesti dihapus dan ditulisi dengan materi pelajaran lainnya, begitu seterusnya.
Karas atau sabak adalah sebuah bahan yang terbuat dari tanah liat yang telah dibakar dan dihaluskan. Bahan ini kemudian dibentuk menjadi lembaran yang tipis dan fleksibel, sehingga dapat digunakan sebagai media tulis. Karas atau sabak memiliki tekstur yang kasar dan berwarna coklat keabu-abuan, yang membuatnya terlihat sangat berbeda dengan buku tulis modern.
Penggunaan karas atau sabak sebagai buku tulis sudah ada sejak zaman kuno. Di Mesir kuno, karas atau sabak digunakan sebagai media tulis untuk menulis teks-teks suci dan dokumen penting. Di Asia, karas atau sabak juga digunakan sebagai buku tulis oleh bangsa Tionghoa, Jepang, dan Korea.
Di Indonesia, karas atau sabak juga digunakan sebagai buku tulis oleh masyarakat tradisional. Di Jawa, misalnya, karas atau sabak digunakan sebagai media tulis untuk menulis cerita rakyat, puisi, dan teks-teks agama. Buku tulis karas atau sabak ini kemudian dihiasi dengan gambar-gambar dan motif-motif yang indah, sehingga membuatnya menjadi sebuah karya seni yang unik.
Sayangnya, dengan kemajuan teknologi dan perkembangan industri, penggunaan karas atau sabak sebagai buku tulis mulai ditinggalkan. Buku tulis modern yang terbuat dari kertas dan memiliki cover yang menarik menjadi lebih populer dan mudah diakses. Namun, buku tulis karas atau sabak masih memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat penting, dan masih dapat ditemukan di beberapa museum dan koleksi pribadi.

Foto Sabak/ Karas, Alat Tulis Jaman Dulu (Sumber: Wikipidea)
Foto Sabak/ Karas, Alat Tulis Jaman Dulu (Sumber: Wikipidea)
Tetap Bisa Berprestasi

Walaupun kondisi sistem dan sarana pembelajaran yang masih sangat terbatas,  tetapi tidak menyurutkan semangat belajar. Terbukti aku bersama Made Artana bisa mewakili SD se-desa Sayan saat itu untuk mengikuti lomba cerdas cermat anak-anak SD se-kecamatan Ubud. Walau belum berhasil meraih juara tetapi prestasi itu cukup membanggakan bagiku. Aku masih ingat astungkara bisa terus berprestasi dari kelas 1 s.d. 6.

Pada tahun 1978, ketika aku duduk di kelas 6 ada kebijakan pemerintah yang mengubah awal tahun ajaran baru yang semula Januari menjadi Juli. Akibat kebijakan ini masa studi di kelas 6 bertambah enam bulan sehingga menjadi 1,5 tahun.

Pada waktu duduk di kelas 6 di bawah bimbingan Bapak Guru I Wayan Dora aku berhasil meraih juara 3 lomba mengarang prosa anak-anak SD tingkat kecamatan Ubud dengan judul karanganku: "Cita-citaku menjadi dokter".

Hal yang tidak bisa dilupakan dan selalu kukenang adalah para guruku memiliki cara dan gaya mendidik yang khas. Mereka adalah: Bapak Guru I Wayan Cenuk (Jero Mangku Desa), Bapak Guru I Wayan Darta, Bapak Guru I Wayan Dora, Bapak Guru I Made Margi, Ibu Guru Ni Nyoman Purnawati, Bapak Guru I Wayan Astawa dan Bapak Guru I Wayan Weca telah menanamkan nilai-nilai pendidikan yg sangat bermanfaat bagi kehidupanku saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun