Drama Korea Weak Hero Class 1 (2022) menampilkan cerita yang tidak biasa tentang kekerasan di sekolah. Drama ini tidak hanya menampilkan pertarungan fisik yang intens, tetapi juga membahas dinamika sosial remaja, seperti masalah persahabatan, menjadi maskulin, dan terutama berbicara dengan orang lain. Tokoh utamanya, Yeon Si-eun adalah siswa yang tampak lemah secara fisik, tetapi menjadi "pahlawan" berkat kecerdasan, strategi, dan komunikasi non-verbal yang efektif.
Namun, apakah di dunia nyata seorang remaja seperti Si-eun bisa benar-benar “menang” hanya dengan kecerdasan dan teman-teman yang setia?
Menurut Joseph A. DeVito (2009), komunikasi antarpribadi (interpersonal) adalah proses penyampaian pesan verbal dan non-verbal antara dua orang atau lebih yang saling memengaruhi.
Komunikasi adalah dasar bagi identitas remaja, relasi sosial, dan penyelesaian konflik. Namun, komunikasi sering berubah menjadi alat dominan dalam lingkungan sekolah yang penuh tekanan, kompetisi, dan kekerasan. Fenomena ini sangat nyata dalam drama Korea Weak Hero Class, di mana intimidasi verbal, tekanan kelompok, dan ejekan menjadi contoh konkret komunikasi yang tidak sehat.
Di tengah situasi yang menegangkan ini, Yeon Si-eun muncul sebagai sosok yang berbeda. Meskipun ia tidak memiliki keunggulan fisik dan jarang berbicara, Si-eun menggunakan komunikasi non-verbal yang sangat strategis. Dengan tatapan tajam, gerakan tubuh yang percaya diri, dan gestur yang tegas, ia menyampaikan pesan yang jelas: "Saya tidak takut."
Ekspresi non-verbal yang ditunjukkan oleh Si-eun memiliki makna yang dalam dalam konteks budaya Korea, di mana kesopanan dan kedewasaan sangat dihargai. Alih-alih mengandalkan kekuatan fisik, ia memanfaatkan kecerdasannya untuk memahami dinamika sosial di sekitarnya dan menemukan cara untuk mengatasi konflik. Dengan cara ini, Si-eun menunjukkan bahwa keberanian tidak selalu diukur dari seberapa kuat seseorang secara fisik, tetapi juga dari kemampuan untuk tetap tenang dan cerdas dalam menghadapi tantangan.
Namun, kenyataannya di dunia nyata jauh lebih kompleks. Kekerasan di sekolah sering kali tidak tampak secara fisik ia bisa berupa pengucilan, perundungan verbal, atau tekanan psikologis yang berlangsung secara sistematis. Di situasi seperti ini, hanya mengandalkan komunikasi non-verbal tidaklah cukup. Membutuhkan sistem dukungan yang kuat, seperti keluarga yang responsif, guru yang peduli, dan teman-teman yang setia.
Beruntung, Si-eun memiliki teman seperti Su-ho dan Beom-seok, sahabat yang membuatnya merasa tidak sepenuhnya sendirian. Persahabatan mereka lahir dari pengalaman yang sama sebagai korban perundungan dan mereka saling memahami tidak hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan nyata. Ini menciptakan bentuk komunikasi suportif yang langka, namun sangat penting dalam menghadapi tantangan.
Sayangnya, di dunia nyata hubungan seperti ini sering kali sulit untuk dipertahankan, terutama di sekolah-sekolah yang dipenuhi budaya kompetitif atau toxic. Remaja sering kali terjebak dalam sistem yang lebih banyak membungkam daripada mendukung, membuat mereka merasa terasing dan sendirian dalam perjuangan mereka.