Bonus demografi menjadi suatu asa bagi sebuah negara apabila ingin mendapatkan kesejahteraan ekonomi. Geliatnya pun tidak main-main, beberapa studi juga menyatakan bahwa beberapa negara di dunia pernah merasakan manisnya bonus demografi. Seyogyanya, bonus demografi inilah yang membuat surplus kesejahteraan negara didapatkan. Namun, perlu adanya huluisasi berupa distribusi lapangan pekerjaan yang cukup mumpuni. Disamping itu, perlunya peran pemerintah sebagai policy maker agar supaya dapat memberikan keluwesan rakyat dalam bertindak. Rakyat tidak akan bisa bermanuver secara sistematis apabila regulasinya masih belum pro-rakyat.
       Kisah Youtuber Indonesia tengah menjadi perbincangan hangat tatkala mengomentari pernyataan Wapres Gibran terkait "Bonus Demografi". Dilansir dari kanal youtube Wakil Presiden Republik Indonesia, Mas Wapres dengan tegas menjelaskan bahwa keberhasilan atas bonus demografi akan layak disematkan kepada para generasi muda -- usia produktif -- atas tantangan ekonomi, teknologi, politik, dan disrupsi peradaban dunia. Tidak banyak yang dilontarkan oleh Mas Wapres terkait apa langkah sebenarnya yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia?Demikin pula apa makna dibalik ungkapan hanya berujar tentang tantangan ekonomi terkait fakta bonus demografi di Indonesia?Tentunya, komentar tiba-tiba tersebut menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat; tak terkecuali oleh para konten kreator. Seorang youtuber Bernama 'Ferry Irwandi' menanggapi pernyataan sang Wapres Gibran. Youtuber tersebut memiliki konten mainstream atas sebuah fenomena sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Dengan total subscriber tidak kurang dari 1,5 juta, Bang Ferry mampu membuat konten tanggapan Wapres Gibran tentang Bonus Demografi tidak kurang dari 1 juta kali telah ditonton, wow!. Hilirisasi dari sektor makro sangat diperlukan. Bang Ferry berujar bahwa tanpa adanya objek yang bisa dijadikan pekerjaan oleh para usia produktif, otomatis segala bonus hanya menyisakan bencana; alias demographic burden. Besarnya populasi produktif Indonesia nyaris diangka separuh lebih dari total penduduk Nusantara. Sesuai data dari BPS, sekitar 25 persen-an penduduk Indonesia berada pada usia di bawah 15 tahun, sementara itu kelompok usia produktif sekitar usia (15-64 tahun) mencakup 65 persen dari total populasi yang ada. Ini artinya, sekitar 10 persen merupakan penduduk berusia 65 tahun ke atas; usia pensiun. 65 % populasi produktif tidak akan bisa mengangkat Indonesia dari negara berstatus berkembang menjadi MAJU tanpa adanya kolaborasi bersama.
       Pemerintah perlu membuat kebijakan yang pro-rakyat. Bukan hanya berpikir huluisasi saja---layaknya Program di sektor Pendidikan -- namun perlu berpikir keras untuk membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Jangan sampai 65 % penduduknya MENGANGGUR. Terkadang pula, kita berpikir bahwa jangan membiasakan generasi bangsa terus menyusu pada ibu pertiwi; bahkan kesana-kemari membawa map lamaran kerja. Memang benar demikian, cuma perlu juga melatih kemandirian dengan cara stimulan bekerja kepada orang lain dahulu. Bisa kita tengok sajalah, pengusaha besar di belahan dunia manapun tentu akan bekerja dari starting poinS ikut orang lalu diikuti orang (membuka lapangan kerja). Jangan pula, pemerintah Indonesia hanya berkutat ke area militer bahkan aparat saja fokusnya. Sudahlah, rakyat tidak bisa dibius dengan alasan pragmatis. Jumlah 65% usia produktif tidak bisa dianggap remeh temeh di bumi pertiwi. Kekuatan sosial dan politis tentu dapat dikanalisir dengan baik. Pemerintah tidak bisa membiarkan 65 % warganya hanya berusaha dan berlomba jadi pengangguran. Program pro usia produktif perlu digaungkan mulai sekarang.
Indikator Demographic Dividend
Dilansir dari Kajian Vol.4 : Population Economics: Mengenal Demographic Dividend Mengulas Transisi Demografi di Indonesia, Bonus atau Bencana?, Fathan Putra Santoni menulis bahwa ada tiga mekanisme untuk dapat memanfaatkan demographic dividend, diantaranya dengan cara penawaran tenaga kerja, modal manusia, dan tabungan.
Tenaga kerja menjadi mekanisme paling dini dalam menangkap bonus demografi di Indonesia. Transisi demografi di Indonesia telah terjadi sejak tahun 2015. Hal tersebut ditandai oleh adanya rasio ketergantungan di angka 50%. Angka ini sangat krusial mengingat pada kelanjutannya, Indonesia akan memasuki era ketergantungan penuh---tepatnya di angka 50% lebih -- di tahun 2045 karena era ageing population. Oleh karenanya, tidak berlebihan bahwa Bank Dunia Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia merekomendasikan strategi jitu yang berasal dari kesenjangan gap insfrastruktur, modal sosial, dan akses keuangan di Indonesia. Tiga strategi terintegrasi tersebut mempunyai titik fokus pada peningkatan aktivitas pekerja dari sektor perkantoran menuju pada sektor inovasi yang akan menaikkan pendapatan agar lebih tinggi. Ketiganya dapat diintegrasikan melalui keterampilan kognitif, interpersonal, dan digital. Strategi blended skills itu dapat menjadi solusi atas lapangan pekerjaan di Indonesia agar lebih berdayaguna; khususnya kepada kebijakan pemerintah.
Modal manusia yang sedari dulu telah dibahas oleh para pakar dunia, nyatanya berakhir klimaks. Putnam dalam studinya berjudul "Putnam human capital" telah merujuk pada peran Robert Putnam tentang sumbangsih penelitian dan pemikiran tentang modal sosial. Putnam, seorang ilmuwan politik yang menekankan atas pentingnya jaringan sosial dan norma-norma sosial untuk membangun masyarakat lebih sejahtera. Teori tersebut juga memiliki alasan atas terjadinya pemahaman modal manusia yang mempunyai tujuan meningkatkan produktifitas manusia sesuai bidangnya masing-masing. Indonesia sudah benar pada jalurnya untuk meningkatkan investasi modal manusia di negeri sendiri melalui peningkatan indeks pembangunan manusia, parisipasi sekolah, dan proporsi tabungan terhadap PDB. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 75,02, telah meningkat 0,63 poin atau 0,85 persen dibandingkan tahun sebelumnya berkisar pada angka 74,39. Selama kurun waktu 4 tahun antara 2020--2024, IPM Indonesia berada pada level rata-rata meningkat sebesar 0,75 persen tiap tahun.
      Â
Indonesia
Indikator bonus demografi dan keadaannya di tanah air juga mendapatkan atensi yang sama di negeri Cina. Dalam artikel berjudul ' When the abundance ends: Economic transformation, population aging, and shrinking lifecycle surplus in China' , Wang dkk. di tahun 2025 menyatakan bahwa siklus surplus pendapatan negeri Cina -- disebabkan bonus demografi -- mulai tahun 2010 hingga sekarang terus mengalami transisi. Hal tersebut disebabkan oleh Pendapatan tenaga kerja, Profil usia penduduk yang produktif, dan Peningkatan surplus negara. Ketiganya hampir sama dialami oleh Indonesia pada tahun 2015 sampai puncaknya nanti di tahun 2045. Tantangan pada kondisi tersebut terjadi apabila konsumsi meningkat, tapi tidak disertai peningkatan pendapatan dan usia menua sehingga ada penurunan surplus dalam dekomposisi kesejahteraan. Maka, sudah selayaknya potensi dan kriteria dalam menghadapi bonus demografi fase pertama ini -- sejak tahun 2015 --, Indonesia dapat berkolaborasi mencapai surplus pendapatan. Bukan hanya menjadi tanggung jawab anak muda saja, namun seluruh stakeholder terutama PEMERINTAH.Â