LOYALITAS KEBIJAKAN GUBERNUR NTT DALAM KETERBATASAN MANUSIA NTT
Oleh: Mario G. Afeanpah
Sebagai makhluk yang memiliki tingkat rasio yang tinggi, manusia tidak akan melepas dirinya dari kemampuan mencari tahu. Mencari tahu ini dilakukan dengan tindakan bertanya. Ia mempertanyakan dirinya, keberadaannya, dan dunianya. Walaupun masih bersifat sederhana, kegiatan ini sudah dimulai sejak dini. Melalui pertanyaan yang diajukan ia ingin mengetahui sesuatu, dan mempunyai sifat yang berkelanjutan.
 Terkait hal bertanya, tentunya dengan kebijakan Gubernur NTT mengenai penerapan sekolah masuk jam 5 pagi merupakan suatu bentuk disposisi esensi dari eksistensi manusia secara khusus manusia NTT yang harus dipertanyakan. Salah satu tujuan yang ditempuh dalam kebijakan tersebut ialah meningkatkan kedisplinan lembaga pendidikan dalam meningkatkan mutu peserta didik.Â
Namun yang nanti menjadi akibat dari kebijakan tersebut ialah makna kebijkan dalam tataran nilai manusia NTT. Sebagaimana, kebijakan yang dibuat atas dasar pencaplokan terhadap ketertinggalan manusia NTT. Masih perlukah manusia NTT memaknai pendidikan sebagai upaya penigkatan mutu hidup manusia NTT, di tengah keterbatasannya?
DASAR ACUAN
Bertolak dari Katadata Media Network, Jumlah penduduk Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 5,49 juta jiwa pada Juni 2021. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, penduduk NTT yang berhasil menamatkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi atau universitas mencapai 326,3 ribu jiwa (5,95%).Â
Dengan rincian, terdapat 567 jiwa (0,01%) penduduk NTT yang merupakan lulusan S3, ada 9,36 ribu jiwa (0,17%) pendidikan hingga jenjang S2, 231,13 ribu jiwa (4,21%) bersekolah hingga jenjang S1. Ada pula 62,32 ribu jiwa (1,1%) penduduk di provinsi tersebut yang berpendidikan hingga lulus D3 dan terdapat 22,93 ribu jiwa (0,42%) yang berpendidikan D1/D2. Penduduk NTT yang menamatkan pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 930,97 ribu jiwa (16,97%).Â
Ada pula 609,38 ribu jiwa (11,11%) penduduk di provinsi tersebut yang telah menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Sebanyak 1,41 juta jiwa (25,68%) penduduk NTT yang telah lulus Sekolah Dasar (SD). Ada pula 968,24 ribu jiwa (17,65%) yang belum tamat SD. Sedangkan yang tidak/belum sekolah terdapat 1,24 ribu jiwa (22,63%).
Pengetahuan merupakan suatu kekayaan dan kesempurnaan bagi manusia. Bertolak dari data tersebut sangat jelas bahwa posisi kebijakan yang dibuat belum mendapat porsi yang tepat. Akumulasi menitik pada angka yang cukup miris yakni 1,24 ribu jiwa (22,63%) yang tidak atau belum sekolah. Secara khusus mengenai yang tidak sekolah merujuk pada angka melek huruf (AMH), hal ini bila dibandingkan dengan jumlah lulusan dengan jenjang tertentu masih berada pada posisi yang sangat kecil yakni 930.97 ribu jiwa (16,97%). Secara jelas dapat dikatakan bahwa manusia NTT masih tertindas dalam dilema buta huruf.
POSISI KEBIJAKAN GUBERNUR NTT
Menimbang hal tersebut penulis akan memaparkan analisis pribadi penulis. Analisis pertama ialah mengenai kebijakan. Secara otentik kebijakan dibuat atas dasar otoritas penuh sebagai pemegang kekuasaan, yang disatu pihak bersifat mengharuskan dan dipihak lain bersifat pemaksaan. Mengapa harus? Karena berdasarkan otoritas atau sebagai pemegang kekuasaan, dan mengapa bersifat memaksa? Karena mempunyai intensi untuk mereduksi kebebasan. Yang mana secara mutlak kebebasan manusia NTT direnggut tanpa pengkajian yang memadai.