Mohon tunggu...
Steven Saunoah
Steven Saunoah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Senang membaca dan menulis. Karya yang disukai adalah sastra dan Filsafat. Penggemar Cristiano Ronaldo.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat "Kontrak Sosial" di Ruang Kelas Antara Dilema Otoritas dan Kekerasan dalam Kasus Siswa Merokok di SMAN 1 Banten

16 Oktober 2025   08:31 Diperbarui: 16 Oktober 2025   08:31 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di ruang kelas. Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi.

Filsafat "Kontrak Sosial" di Ruang Kelas Antara Dilema Otoritas dan Kekerasan dalam Kasus Siswa Merokok di SMAN 1 Banten

Akhir-akhir ini, warga Indonesia, khususnya dunia pendidikan dihebohkan dengan kejadian kepsek yang menampar salah satu siswa karena diduga merokok di area sekolah. Kasus yang menimpa seorang siswa di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, yang ketahuan merokok dan menerima sanksi fisik berupa tamparan dari kepala sekolah, Dini Fitri, telah memicu perdebatan sengit. Insiden ini tidak hanya berujung pada pelaporan orang tua siswa ke polisi dan penonaktifan kepala sekolah, tetapi juga menyoroti iron yaitu adanya kesan bahwa guru atau pihak sekolah lain turut menerima imbas buruk. Dari sudut pandang filsafat, kasus ini merupakan manifestasi nyata dari ketegangan antara individu dan otoritas, yang sangat relevan dengan teori "Kontrak Sosial."

Sudut Pandang Filsafat Kontrak Sosial

Teori Kontrak Sosial, yang dipelopori oleh filsuf-filsuf besar seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, pada dasarnya menjelaskan bagaimana individu menyerahkan sebagian kebebasan alaminya kepada sebuah otoritas (negara atau pemerintah) demi memperoleh perlindungan dan ketertiban. Dalam konteks sekolah, institusi pendidikan berfungsi sebagai mini-negara di mana terdapat semacam kontrak sosial antara pihak sekolah (otoritas) dan siswa (individu).

1. Thomas Hobbes: Mencari Ketertiban Absolut

Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan berpendapat bahwa manusia dalam keadaan alamiah (tanpa pemerintah) hidup dalam "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes). Oleh karena itu, individu sepakat untuk tunduk pada otoritas absolut (Leviathan) demi ketertiban dan keamanan.

Dalam kasus ini:

Otoritas Sekolah (Kepala Sekolah) memiliki hak untuk bertindak tegas (bahkan kasar, menurut pandangan Hobbes yang ekstrem) untuk menjaga ketertiban sekolah dari perilaku yang mengancam tata kelola (merokok, berbohong). 

Tindakan fisik, dalam pandangan Hobbesian, bisa jadi dianggap sebagai upaya terakhir untuk menegakkan kekuasaan mutlak yang diperlukan demi stabilitas.

2. Jean-Jacques Rousseau: Kehendak Umum dan Kebebasan

Jean-Jacques Rousseau, dalam Du Contrat Social, memiliki pandangan yang lebih idealis. Ia berfokus pada "Kehendak Umum" (General Will), kesepakatan kolektif yang mengutamakan kepentingan bersama. Kontrak sosial harus menjamin kebebasan sipil, di mana individu patuh pada hukum yang mereka buat sendiri secara kolektif.

Dalam konteks sekolah:

Aturan Sekolah (larangan merokok) adalah manifestasi dari "General Will" komunitas sekolah (siswa, guru, manajemen) untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan edukatif. Pelanggaran siswa adalah penolakan terhadap kehendak umum ini.

Tindakan Kepala Sekolah yang berupa kekerasan fisik jelas melanggar semangat Kehendak Umum Rousseau. Otoritas sekolah harus bertindak sebagai pelayan hukum yang dibuat bersama, bukan sebagai penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Kekerasan fisik menghancurkan kebebasan sipil dan martabat siswa, yang seharusnya dijaga oleh kontrak tersebut. Hukuman harus bersifat mendidik dan proporsional, bukan merendahkan.

3. John Locke: Hak-Hak Alami dan Batasan Kekuasaan

John Locke, berbeda dengan Hobbes, percaya bahwa individu memiliki "Hak-Hak Alami" (hidup, kebebasan, properti) yang tidak dapat dicabut, bahkan oleh pemerintah. Kontrak sosial berfungsi untuk melindungi hak-hak ini, dan kekuasaan pemerintah harus dibatasi.

Dalam kasus ini:

Siswa merokok melanggar aturan sekolah (aturan properti dan ketertiban). Tindakan ini salah dan pantas mendapat sanksi. Namun, kekerasan fisik (tamparan) oleh Kepala Sekolah melanggar hak alami siswa atas keselamatan fisik. Menurut Locke, jika otoritas bertindak melampaui batas yang disepakati dan melanggar hak-hak dasar, otoritas tersebut kehilangan legitimasinya dan kontrak dapat dianggap batal (pembenaran atas protes siswa dan laporan orang tua). Guru atau pihak sekolah lain yang kemudian "disalahkan" mungkin merasakan ketidakadilan karena kekuasaan telah disalahgunakan oleh satu pihak dalam otoritas.

Apakah Siswa Itu Benar atau Salah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu pemisahan antara dua pelanggaran yang terjadi:

1. Pelanggaran Siswa (Merokok)

Siswa itu salah. Merokok di lingkungan sekolah melanggar peraturan yang disepakati dalam kontrak sosial sekolah. Aturan ini ada untuk menjaga kesehatan, ketertiban, dan citra institusi. Pelanggaran ini pantas mendapatkan sanksi yang bersifat edukatif dan korektif, sesuai dengan tata tertib.

2. Pelanggaran Kepala Sekolah (Kekerasan Fisik)

Kepala Sekolah itu salah. Tindakan kekerasan fisik berupa tamparan adalah pelanggaran etika, hukum pendidikan (anti-kekerasan), dan kontrak sosial yang sah.

Dari perspektif Kontrak Sosial, meskipun siswa melanggar aturan, respon otoritas (Kepala Sekolah) telah melampaui batas kekuasaan yang sah dan melanggar hak-hak dasar individu. Otoritas diizinkan untuk menghukum pelanggaran aturan, tetapi tidak diizinkan untuk melanggar hak asasi siswa (hak untuk tidak dicederai). Ketika otoritas melanggar batas, ia kehilangan legitimasi moral dan hukumnya, yang membenarkan penolakan (protes siswa) dan tindakan hukum (laporan orang tua).

Oleh karena itu, meskipun tindakan awal siswa adalah kesalahan, tindakan balasan Kepala Sekolah merupakan pelanggaran yang lebih serius karena menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar hak asasi manusia, yang merupakan fondasi dari setiap kontrak sosial.

Kasus ini mengajarkan bahwa penegakan aturan tidak boleh dilakukan dengan cara yang merusak prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan hukum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun