Dengan mempercayai Injil yang lain, mereka bukan hanya meninggalkan sebuah ajaran. Mereka meninggalkan Allah sendiri (ayat 6 “kamu begitu lekas berbalik dari Dia”). Dari sini terlihat bahwa antara ajaran yang benar dan Allah yang benar memang tidak terpisahkan. Meninggalkan yang satu berarti meninggalkan yang lain.
Kebodohan spiritual ini terlihat jelas karena mereka lebih memilih Injil yang palsu daripada anugerah Yesus Kristus. Dua hal ini bersifat eksklusif. Yang satu meniadakan yang lain. Di 5:4 Paulus berkata: “Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia”.
Injil yang lain bukanlah Injil sama sekali (ayat 7a “yang sebenarnya bukan Injil”). Pernyataan ini sangat tegas. Para pengajar sesat di Galatia tidak membuang Injil. Mereka masih mengakui nilai penting iman kepada Yesus Kristus dalam keselamatan. Hanya saja, mereka ingin menambahkan ketaatan kepada Hukum Taurat sebagai penyempurna keselamatan (Gal. 5:3). Di mata Paulus, tindakan ini bukan sekadar penambahan, melainkan pembuangan.
Hal ini bisa dimengerti. Keselamatan melalui iman bertentangan dengan keselamatan melalui Hukum Taurat (Gal. 3:12). Melalui iman berarti anugerah. Melalui Taurat berarti perbuatan baik. Keduanya tidak boleh dipegang secara bersamaan.
Mengenali ajaran sesat (ayat 7b-10)
Bagaimana kita membedakan ajaran yang benar dari yang sesat? Ada beberapa patokan yang kita bisa gunakan.
Pertama, menimbulkan kekacauan (ayat 7b). Kata yang sama muncul lagi di 5:10. Menariknya, kata yang sama juga digunakan dalam konteks kontroversi Yahudi – Yunani yang dibahas dalam konsili gereja di Kisah Para Rasul 15:24. Ada orang-orang Yahudi Kristen tertentu yang memaksa orang-orang Kristen non-Yahudi untuk bersunat memelihara Taurat (15:1-2).
Ajaran yang benar seharusnya menghasilkan gaya hidup yang benar. Ortodoksi berujung pada ortopraksi. Teologi melahirkan doksologi. Injil yang mendamaikan kita dengan Allah seyogianya mendamaikan kita dengan sesama. Apa yang dihasilkan oleh para pengajar sesat di Galatia hanyalah kekacauan. Pertikaian dalam jemaat menjadi tidak terelakkan. Karena itu, Paulus memberikan nasihat: “Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan” (Gal. 5:15).
Kedua, memutarbalikkan Injil Yesus Kristus (ayat 7b). Terjemahan LAI:TB “memutarbalikkan” dapat dikatakan sangat tepat. Lebih tegas daripada versi-versi Inggris yang hanya memilih “membelokkan” atau “menyelewengkan”. Kata “memutarbalikkan” (metastrepho) memang menyiratkan kontras atau pertentangan, bukan hanya perbedaan. Misalnya, matahari yang begitu terang berubah menjadi gelap (metastrepho, Kis. 2:20).
Ketiga, menyandarkan pada otoritas lain (ayat 8-10). Dalam bagian ini Paulus menyinggung tentang sumber otoritas ajaran, baik dari para rasul maupun malaikat. Siapapun yang memberitakan Injil yang palsu, dia akan dikutuk oleh Allah. Pemunculan kata “terkutuklah” (anathema) sebanyak dua kali menyiratkan sebuah penekanan.
Tidak terlalu jelas apa kaitan ajaran sesat ini dengan para rasul atau malaikat. Apakah mereka menganggap diri mereka sebagai rasul? Apakah ini berhubungan dengan konsep mistisisme Yahudi pada waktu itu yang mengaitkan para malaikat dengan pemberian Hukum Taurat? Kita tidak bisa memastikan. Walaupun demikian, poin yang mau disampaikan mungkin bersentuhan dengan isu otoritas. Mungkin para pengajar itu berniat menggunakan “sumber otoritas tertentu”. Dengan gaya bahasa hiperbolis, Paulus mengantisipasi semua kemungkinan yang ada. Bahkan sekalipun para rasul atau malaikat yang memberitakan ajaran sesat, ajaran itu tetap saja sesat. Yang dipentingkan adalah konsep (apa), bukan pemberita (siapa).