Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak: Sebuah Dilema Moral-Teologis

20 Maret 2018   21:30 Diperbarui: 17 Agustus 2018   04:35 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: gizmodo.com

Pajak adalah salah satu bagian dari mandat budaya yang Tuhan berikan kepada setiap orang supaya kita bukan hanya menjadi berkat di lingkungan kita sendiri (sesama orang Kristen), melainkan juga berkontribusi dengan pemikiran yang lebih global. Sebab Alkitab dimulai dengan Adam, bukan dengan Abraham. Sedihnya, seringkali gereja lebih sibuk dengan dirinya sendiri (amanat agung) -walaupun itu penting sekali - dan melupakan mandat budaya. Ketika Allah menciptakan manusia pertama, mereka diberi tugas untuk menguasai bumi. Salah satu bagian terkecil di antaranya adalah tanggung jawab kita untuk berpartisipasi di dalam kemanusiaan melalui pembayaran dan pelaporan pajak kita. Isu tentang pajak ini dapat ditinjau dari sisi sejarah, filsafat moral, dan biblika. Ada berbagai macam sisi yang harus kita pahami supaya kita bisa mengerti perpajakan dengan utuh dan benar.

Definisi

Mari kita mulai dengan definisi. Apakah pajak adalah uang yang kita bayarkan untuk mengikuti seminar? Apakah pajak adalah uang yang kita setorkan ketika memasuki wilayah yang menjadi milik pemerintah? Apakah pajak adalah uang yang kita bayarkan di gerbang tol? Tentu saja bukan. Apakah pajak adalah tip yang kita berikan kepada petugas pajak sebagai “pelicin” untuk semua urusan bisnis kita? Tentu tidak, itu adalah suap. Dengan demikian, sebenarnya kita sudah bisa membedakan mana yang pajak dan mana yang bukan pajak dari apa saja yang kita bayar.

Jadi apa yang dimaksud dengan pajak? Pajak adalah sebuah kontribusi yang dibayarkan kepada pemerintah disertai dengan unsur paksaan yang diberlakukan untuk kepentingan publik. Pembayaran yang dilakukan secara sukarela tidak bisa disebut sebagai pajak. Misalnya, pembayaran di gerbang tol. Kita tidak wajib memilih jalan tol sebagai satu-satunya akses menuju suatu tempat tertentu. Walaupun pembayaran tol ditujukan kepada pemerintah, tetapi karena dilakukan secara sukarela, maka tidak bisa dikategorikan sebagai pajak. Kalau hanya untuk kepentingan sebagian golongan, atau orang-orang tertentu, apa yang kita bayarkan juga tidak bisa dikategorikan sebagai pajak.

Pajak bertujuan untuk menutupi semua kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari pelayanan publik. Upaya-upaya pemerintah untuk melayani masyarakat tentunya membutuhkan biaya. Biaya itu ditutup dari pembayaran pajak. Pajak juga memiliki peraturan yang resmi, sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan pembayaran pajak juga adalah untuk memenuhi peraturan yang ada.

Pajak juga dibayarkan tanpa keuntungan spesifik yang diberikan kepada pembayar pajak. Tidak ada keuntungan yang spesifik bukan berarti sama sekali tidak ada keuntungan. Keuntungan kita melalui pembayaran pajak misalnya, ikut serta dalam pembangunan infrastruktur yang semakin maju dan pemerataan pendidikan di berbagai tempat. Keuntungan ini sifatnya tidak khusus dan tidak langsung bagi kita. Sehingga kalau kita mau mendefinisikan pajak, maka definisi yang diberikan harus memenuhi berbagai macam poin di atas.

Pajak: dulu dan sekarang

Memasuki pembahasan tentang pajak secara historis, kita perlu mengerti bahwa ada banyak kesamaan antara pajak dulu dan sekarang. Misalnya, dari sisi keragamannya/jenisnya. Kita bisa menemukan macam-macam jenis pajak di dalam Alkitab. Di zaman Alkitab, kita hidup saja sudah dikenakan pajak. Kemudian kalau kita tinggal di suatu tempat, maka kita dikenakan pajak tanah. Kalau kita pergi dari satu tempat ke tempat lain, maka kita juga dikenakan pajak. Sebagai orang asing, kita juga dikenakan pajak yang lain. Ketika ada interaksi komersial dalam bentuk apapun, itu juga dikenakan pajak. Jadi kalau sekarang kita mengeluh tentang banyaknya pajak yang harus dibayar, maka masih ada alasan untuk bersyukur sebab kita bukan orang pertama yang mengalaminya.

Kesamaan yang kedua adalah dari sisi cara pengumpulan pajak. Dalam zaman Alkitab, pengumpulan pajak dilakukan dengan memakai kekerasan dan pemerasan (bdk. Luk. 3:13-14). Kesamaan berikutnya adalah dari sisi penggunaan. Di dalam Perjanjian Baru misalnya, Tuhan Yesus dan Paulus membicarakan tentang pajak yang nanti kita akan bahas secara lebih detail. Mereka mengasumsikan - dan memang ini benar - bahwa pajak diberikan untuk pemerintah, dalam hal ini terutama kepada Kaisar. Di dalam sejarah Romawi, sangat jarang kita menemukan Kaisar yang berbudi pekerti luhur. Sehingga sangat mungkin pajak mereka digunakan secara tidak bertanggung jawab. Dengan demikian kalau kita keberatan dengan pembayaran pajak yang mungkin akan disalahgunakan pemerintah, maka ini adalah sebuah keberatan yang kuno sekali. Karena saya yakin umat Allah di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, mereka juga bergumul tentang keberatan semacam ini (terutama di Perjanjian Baru).

Ada kesamaan yang lain yaitu dari sisi psikologi. Orang kuno dan modern sama-sama bersikap negatif terhadap pajak (bdk. Mat 9:11). Walaupun harus diakui seiring waktu sikap kita terhadap pemungut pajak sedikit berubah, tetapi tetap sikap kita terhadap pajak biasanya cenderung negatif. Apakah ada di antara kita yang tidak sabar menunggu bulan-bulan tertentu untuk bisa membayar pajak dengan sukacita?

Maksud saya dengan menceritakan aspek historis dari pajak ini adalah bahwa apa yang nanti dikatakan Alkitab tentang pajak berlaku sama untuk kita, sama berotoritasnya dan relevansinya. Meskipun sistem pajaknya berbeda, petugas pajaknya berbeda, tetapi masih banyak variabel yang sama antara pajak dulu dan kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun