Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Minggu Transfigurasi

12 Februari 2018   19:27 Diperbarui: 19 Mei 2018   02:41 1648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari cara penulisan kisah transfigurasi kita dengan mudah dapat melihat bahwa Yesus bukan sekadar seorang nabi akhir zaman. Dia jauh melebihi Musa maupun Elia (terutama Musa). Poin ini sangat signifikan bagi murid-murid yang terbiasa menganggap Musa dan Elia sebagai nabi yang terbesar dalam sejarah bangsa Israel.

Bagaimana superioritas Yesus ditunjukkan melalui transfigurasi? Pertama, Musa hanya sekadar memantulkan kemuliaan Allah setelah bercakap-cakap dengan Dia (Kel 34:29-30), sementara Yesus berubah rupa sendiri (Mat 17:2), bahkan sebelum Allah menyatakan diriNya (Mat 17:5). Ucapan Allah di ayat 5 terfokus pada diri Yesus saja. Dengan kata lain, hanya Yesuslah Anak yang dikasihi, hanya Yesuslah yang berkenan di hati Allah; hanya Yesuslah yang harus didengarkan. 

Tentu saja ini tidak berarti bahwa semua firman Allah melalui Musa dan Elia harus dilupakan. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus adalah wahyu yang tertinggi (Yoh 1:18; Ibr 1:1-2) kehadiran mereka berdua hanya untuk melayani Yesus, yaitu menunjukkan siapa diriNya yang sebenarnya. Sebagai fokus dari kisah ini Yesus jelas lebih penting daripada mereka berdua.

Makna transfigurasi: Yesus adalah Mesias yang menderita sekaligus mulia

Kita tidak boleh melupakan konteks dari kisah transfigurasi. Sebelum peristiwa ini Yesus sudah menubuatkan bahwa Dia harus menderita di Yerusalem (Mat 16:21). Berita ini sulit dimengerti oleh murid-murid sehingga mereka menolak ide tentang Mesias yang menderita (Mat 16:22-23). Dalam konteks seperti inilah Yesus menunjukkan diriNya yang sebenarnya di depan murid-murid. Lukas bahkan secara khusus mencatat isi pembicaraan Yesus dengan Musa dan Elia, yaitu seputar penderitaan di Yerusalem (Luk 9:31). Transfigurasi mengajarkan bahwa penderitaan dan kehinaan yang dilalui Yesus tidak meniadakan kemuliaan-Nya. Sebaliknya, hal itu justru merupakan jalan ke arah kemuliaan.

Petunjuk lain tentang hal ini terdapat dalam kisah transfigurasi itu sendiri. Dalam kisah ini Allah sekali lagi menegaskan bahwa Yesus adalah Anak-Nya yang terkasih (Mzm 2:7) dan objek perkenanan Allah (Yes 42:1). Sebagai Mesias yang dinubuatkan oleh Yesaya, Yesus adalah Mesias yang menderita (Yes 53). Setelah turun dari gunung, Yesus menghubungkan transfigurasi dengan kebangkitan-Nya dari kematian (Mat 17:9). Jadi, seluruh peristiwa transfigurasi mengarah pada penderitaan Yesus.

Respons kita terhadap transfigurasi

Ketika identitas Yesus dinyatakan dalam transfigurasi, hal itu tentu bukan tanpa alasan. Kisah ini bukan sekadar pamer kemuliaan atau aktualisasi diri yang tidak berguna. Ada hal-hal tertentu yang diharapkan sebagai respons dari murid-murid dan kita. Bagaimana kita seharusnya merespons kisah transfigurasi ini?

Pertama, kita tidak perlu takut menderita karena ada kemuliaan yang menyertai kita. Seperti sudah disinggung sebelumnya, transfigurasi merupakan penggenapan dari ucapan Yesus bahwa di antara murid-murid-Nya ada yang tidak akan mati sebelum melihat Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya sebagai raja (Mat 16:28). Kemuliaan Anak Manusia ini sendiri sangat berkaitan dengan ayat 27 tentang kedatangan Anak Manusia di akhir zaman untuk menghakimi semua orang. Jadi, transfigurasi harus dilihat sebagai "cicipan" dari apa yang akan terjadi di akhir zaman, yaitu Yesus datang dalam kemuliaan-Nya.

Lebih jauh kita perlu menyelidiki mengapa Yesus perlu membicarakan tentang kemuliaan-Nya? Sesuai konteks kita mengetahui bahwa hal ini merupakan bagian dari khotbah Yesus tentang syarat-syarat mengikuti Dia (Mat 16:24-27). Syarat ini membahas tentang kesediaan murid-murid untuk menderita dan mati bagi Kristus. Mereka tidak perlu takut atau khawatir terhadap penderitaan di dunia ini. Semua itu tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang nanti akan mereka nikmati bersama Yesus (bdk. 2 Kor 4:17).

Demikian pula dengan kita. Walaupun Yesus belum datang dalam kemuliaanNya yang agung di akhir zaman, namun Dia telah memberi bukti tentang hal itu melalui transfigurasi. Yesus telah memberi kepastian kepada murid-murid karena kita cenderung "menikmati" dunia ini dan begitu terpikat kepadanya. Kita lupa bahwa hidup kita harus diarahkan pada kemuliaan kekal. Orientasi hidup seperti ini akan memampukan kita untuk berani menderita bagi Kristus selama di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun