Mohon tunggu...
Stefania Wahyu Safitri
Stefania Wahyu Safitri Mohon Tunggu... mahasiswa

suka jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Transformasi Akad dari Gadai ke Jual Beli Sepihak

12 Juni 2025   21:13 Diperbarui: 12 Juni 2025   21:13 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Transformasi Akad dari Gadai ke Jual Beli Sepihak

Akhir-akhir ini, saya sering mendengar cerita dari teman-teman atau tetangga soal masalah gadai yang berujung ribut. Awalnya cuma pinjam uang, barang ditinggal sebagai jaminan. Eh, tiba-tiba barang itu katanya sudah "jadi milik" si penerima gadai. Alasannya karena si peminjam belum bisa bayar utang. Gampangnya, akad gadai berubah sepihak jadi jual beli. Yang bikin miris, kadang barangnya dijual tanpa sepengetahuan si pemilik, atau kalaupun dijual, uang sisanya nggak dikasih tahu ke pemilik barang. Sering kali, utangnya cuma 2 juta, barangnya malah dijual 5 juta, sisanya masuk kantong penerima gadai. Fair nggak? Tentu saja enggak.

Kalau mau jujur, kasus seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Ini seperti penyakit lama dalam praktik gadai yang masih saja muncul sampai hari ini. Apalagi di lingkungan masyarakat kecil yang kadang tidak sepenuhnya paham aturan akad, apalagi hukum Islam soal muamalah. Yang penting butuh uang cepat, urusan nanti belakangan. Ini yang bikin masalah makin ruwet.

Padahal, kalau kita bicara dari sudut pandang Islam, akad itu bukan cuma formalitas, bukan sekadar tanda tangan atau ucapan setuju di depan orang. Akad itu tanggung jawab. Di dalamnya ada hak orang lain yang harus dijaga. Dan Islam memandang akad gadai atau rahn itu beda banget dengan jual beli. Dalam gadai, barang itu tetap milik orang yang menggadaikan. Si penerima gadai cuma berhak menyimpan barang itu sebagai jaminan sampai utangnya lunas. Kalau nggak lunas, solusi syariahnya ya barang itu dijual dengan persetujuan kedua belah pihak, utang dibayar, kalau ada sisa dikembalikan.

Nah, kalau kemudian barang itu malah diambil alih sepihak, atau malah langsung dijual tanpa persetujuan, itu udah masuk pelanggaran. Kalau kita ibaratkan, ini kayak titip motor ke bengkel, eh tahu-tahu motornya dijual tanpa kabar. Kira-kira gimana perasaan kita?

Banyak orang beralasan, "Kan dia nggak bayar utang, ya wajar kalau barangnya jadi milik saya." Nah, alasan seperti ini sering dipakai, padahal jelas-jelas nggak sesuai syariah. Dalam Islam, kita dilarang mengambil keuntungan dari transaksi pinjam-meminjam. Bahkan Rasulullah SAW bersabda, "Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba." Nah, kalau utang 2 juta, lalu barangnya dijual 5 juta dan diambil semua, itu sama saja nyari untung dari utang. Itu riba terselubung.

Kalau mau jual barang gadai, harusnya dua-duanya duduk bareng, ngobrol baik-baik. Bahkan kalau perlu dijual di tempat yang resmi atau melalui lelang, supaya jelas harganya, dan nggak ada yang dirugikan. Kalau pun ada lebihnya, ya itu hak si penggadai. Jangan malah dikemplang.

Masalahnya, kenapa hal seperti ini masih sering kejadian? Salah satu penyebabnya karena masyarakat kurang ngerti tentang jenis-jenis akad. Banyak yang mengira semua transaksi sama. Padahal akad rahn (gadai) itu beda dengan akad jual beli. Kalau jual beli, barang berpindah tangan. Kalau gadai, barang hanya dititipkan sebagai jaminan utang. Tapi karena kurangnya pemahaman, akhirnya akad berubah seenaknya.

Biar lebih jelas, saya kasih contoh sederhana. Misalnya A minjam uang ke B sebesar 3 juta, lalu A menggadaikan motor. Setelah beberapa bulan, A belum bisa bayar. Lalu B bilang, "Motor ini saya jual aja ya, buat nutup utangmu." Kalau A setuju, boleh. Tapi kalau A belum setuju atau bahkan nggak tahu barangnya udah dijual, itu jelas haram. Bahkan kalau dijual, lalu harganya lebih dari utang, sisa uangnya wajib dikasih ke A. Kalau nggak? Ya jatuhnya haram.

Kalau kita lihat ke sejarah fiqih, para ulama dari dulu sudah tegas soal ini. Imam Nawawi bilang, jual barang gadai tanpa izin pemiliknya itu haram. Nggak sah akadnya. Ini nggak cuma soal aturan, tapi soal amanah. Rasulullah SAW saja pernah berpesan, "Orang yang dipercaya harus menjaga amanah orang lain, nggak boleh khianat."

Nah, ada juga yang bilang, "Tapi kan ini sudah disepakati di awal. Kalau nggak bayar, ya barang jadi milik saya." Ini juga nggak sah. Akad yang mengandung syarat seperti itu termasuk syarat batil menurut ulama. Dalam Islam, nggak boleh bikin syarat dalam akad yang ujung-ujungnya merugikan salah satu pihak. Jadi walaupun dari awal sudah bilang begitu, tetap saja hukumnya batil.

Sebagai solusi, sebenarnya praktik gadai bisa dilakukan lewat lembaga resmi, misalnya Pegadaian Syariah. Di sana ada aturan jelas, ada pengawasan, ada prosedur kalau barang nggak ditebus. Biasanya barangnya dilelang secara terbuka, hasilnya dikasih ke nasabah, sisanya untuk bayar utang. Aman, adil, dan sesuai syariah. Sayangnya, banyak masyarakat yang masih lebih suka gadai secara personal ke tetangga atau saudara, karena alasan lebih gampang, nggak ribet, atau bisa nego harga. Nah, di sinilah sering muncul masalah kayak transformasi akad sepihak tadi.

Di samping itu, perlu juga kita ngerti ada akad lain kayak bai' wafa', jual beli dengan janji bisa ditebus lagi. Tapi akad ini juga banyak diperdebatkan ulama. Yang paling aman tetap pakai akad rahn murni aja. Simpel, nggak ribet, dan jelas aturannya.

Yang nggak kalah penting adalah edukasi. Masyarakat harus lebih paham soal hak dan kewajiban dalam akad. Jangan cuma asal tanda tangan atau asal ngomong "iya", tapi nggak ngerti dampaknya. Ini juga jadi PR besar buat para tokoh agama, ustaz, dan lembaga keuangan syariah buat terus edukasi umat soal muamalah. Jangan sampai karena butuh uang cepat, kita malah terjebak dalam transaksi yang nggak berkah.

Akhirnya, saya cuma ingin mengingatkan: akad itu amanah. Barang orang itu amanah. Jangan main-main dengan amanah. Kalau memang mau bantu orang yang lagi butuh uang, bantu dengan cara yang halal dan adil. Kalau kita yang lagi butuh uang, juga jangan lupa penuhi janji. Kalau memang belum mampu, bicarakan baik-baik. Islam itu agama yang menjunjung tinggi keadilan. Jangan rusak akad cuma karena nafsu ingin untung sendiri.

Semoga ke depan, praktik-praktik semacam ini bisa semakin berkurang. Kita sama-sama belajar jujur, amanah, dan ngerti aturan Islam dalam muamalah. Karena yang kita cari bukan cuma untung dunia, tapi juga berkahnya di akhirat.

Dan satu hal lagi yang penting untuk kita renungkan bersama: jangan karena soal uang, kita rela mengorbankan amanah. Kadang memang kita merasa sudah capek nagih utang, apalagi kalau yang ngutang kayak nggak ada itikad baik untuk bayar. Tapi sekali lagi, bukan berarti kita boleh mengambil hak orang lain secara sepihak. Islam itu agama yang sangat memperhatikan hak-hak orang lain, sekecil apa pun itu. Bahkan Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa mengambil hak orang lain dengan cara yang batil, maka tempatnya adalah neraka."

Ngeri, kan? Gara-gara masalah uang 2 juta atau 5 juta, kita berpotensi menanggung dosa besar kalau main ambil barang orang tanpa hak. Jadi lebih baik capek sedikit untuk mengikuti aturan yang benar daripada capek di akhirat nanti gara-gara harus mempertanggungjawabkan barang orang lain yang kita ambil secara tidak halal.

Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa sih sampai ada orang yang nekat mengubah akad secara sepihak? Salah satu sebabnya mungkin karena mereka merasa berhak atas barang itu setelah menunggu lama. Tapi rasa "berhak" ini nggak bisa dijadikan alasan buat melanggar syariat. Yang benar itu, kalau memang sudah merasa tidak sanggup melunasi utang, ngomong terus terang. Mungkin bisa dicari solusi bareng-bareng. Kalau barang gadai harus dijual, jual dengan cara yang baik, transparan, dan hasilnya dibagi sesuai hak masing-masing.

Buat para penerima gadai, jangan pernah berpikir bahwa dengan menjual barang itu mereka bisa untung besar. Bisa jadi uangnya banyak, tapi keberkahannya hilang. Duitnya habis, dosanya tetap. Ingat, nggak ada untungnya nyari uang dengan cara curang, walaupun kelihatannya "logis".

Buat yang suka berhutang, juga jangan main-main. Kalau memang sudah berniat minjam, niatkan juga untuk melunasi. Jangan sampai kita malah jadi penyebab orang lain tergoda berbuat curang gara-gara kita nggak bertanggung jawab atas utang kita. Rasulullah SAW sendiri bersabda, "Orang yang sengaja tidak membayar utang, ia adalah pencuri."

Jadi, dua-duanya harus introspeksi. Yang ngutang harus punya niat baik melunasi, yang ngasih pinjam harus sabar dan menjaga amanah. Kalau dua-duanya jujur dan saling terbuka, insyaAllah nggak akan ada lagi cerita barang gadai dijual diam-diam atau akad berubah sepihak seenaknya.

Sebagai masyarakat, kita juga perlu lebih berani mengingatkan. Kalau tahu ada tetangga atau teman yang mau menggadaikan barang, bantu beri tahu hak dan kewajibannya. Kalau tahu ada yang suka main gadai dengan cara curang, jangan sungkan untuk menegur. Ini bentuk amar ma'ruf nahi mungkar dalam urusan muamalah. Karena kalau dibiarkan, lama-lama jadi budaya yang salah.

Dan untuk lembaga-lembaga yang bergerak di bidang keuangan syariah, ini jadi PR juga untuk lebih memperluas jangkauan edukasi ke masyarakat. Jangan sampai prinsip syariah hanya berlaku di lembaga resmi, tapi masyarakat di tingkat bawah masih praktiknya ngawur. Harus ada sinergi antara ulama, lembaga syariah, dan masyarakat untuk saling menguatkan pemahaman soal akad-akad muamalah ini.

Terakhir, mari kita sama-sama belajar memperbaiki niat dan cara kita bertransaksi. Nggak perlu cari untung dari hak orang lain. Nggak perlu pura-pura nggak ngerti hukum. Karena yang paling penting dari semua urusan dunia ini adalah mencari keberkahan, bukan sekadar keuntungan. Kalau sudah berkah, insyaAllah rezeki akan datang dari arah yang nggak kita duga-duga.

Semoga kita semua bisa menjadi orang yang amanah dalam setiap akad, jujur dalam setiap transaksi, dan adil dalam setiap keputusan. Karena yang halal itu pasti berkah, yang curang pasti merugikan.

Wallahu a'lam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun