Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Digital Anak Tanggung Jawab Siapa?

25 Juli 2019   11:08 Diperbarui: 25 Juli 2019   11:47 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.pixabay.com

Hari anak selalu diperingati tanggal 23 Juli, menjadi momen penting untuk membahas tentang anak. Mereka disebut anak karena usianya masih dibawah 18 tahun (pasal 1 ayat 1 UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak). Ada juga yang menyebut 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki (UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). 

Beda dengan UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, syarat untuk mendapatkan SIM berusia 17 Tahun. Termasuk untuk mempunyai KTP dan hak politik batasan usianya 17 tahun atau sudah menikah. 

Anak menurut hukum berbeda lagi batasannya yaitu belum berusia 21 tahun (pasal 330 KUH Perdata Barat). Artinya untuk menyebut anak itu berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan. Tentu berbeda lagi sebutan anak dari kacamata agama, ilmu kedokteran dan psikologi.

Apapun sebutan anak yang berbeda berdasarkan usia, pastinya anak itu masih membutuhkan arahan, bimbingan, pendampingan, pengawasan dari orang dewasa yang ada di lingkungan sosialnya. Anak tidak bisa dilepaskan, dibiarkan begitu saja dengan alasan "agar mandiri". 

Bagaimanapun untuk membentuk anak mandiri, minimum dapat mengurus diri sendiri tetap perlu bimbingan, contoh nyata dari orang dewasa yang berada di sekelilingnya. Masalahnya, orang dewasa disekelilingnya "kadang" tidak dapat menjadi "role model" (panutan) yang baik bagi anak-anak.  

Akibatnya anak-anak saat tumbuh kembang mengalami degradasi sopan santun, etika, perilaku, sikap dan perilaku menyimpang, atau tindakan, perbuatannya menyamai orang dewasa. 

Misalnya anak balita suka merokok, karena sehari-hari melihat orang merokok. Anak bertutur kata kasar, keras, ingin menang sendiri karena sering mendengar dan melihat orang dewasa melakukan hal seperti itu.

Kalau sudah begini, tidak bijaksana menyalahkan sekolah dan masyarakat ketika ada anak-anak bermasalah. Memang diakui ada tripusat pendidikan (keluarga, sekolah dan anak-anak). Artinya di dalam keluarga itulah pertama kali dan yang paling utama sebagai madrasah bagi anak-anaknya. 

Dalam keluarga inti ada ibu, bapak sebagai orang tua yang mempunyai kewajiban untuk mendidik, membimbing, mengarahkan anak-anak sebelum masuk sekolah dan bergaul di masyarakat. 

Kewajiban orang tua ini menjadi hak dari anaknya, artinya anak berhak mendapatkan perawatan, asuhan, bimbingan berdasarkan kasih sayang orang tua agar tumbung kembang sesuai usianya. 

Kewajiban orang tua ini tidak dapat dialihkan kepada siapapun dengan alasan sibuk, tidak ada waktu. Jangan salahkan bila anak mempunyai panutan bukan orang tuanya, tetapi pengasuhnya, pemain di TV, atau Yotube.

Pada hari anak ini lebih bijaksana setiap orang tua instropeksi dan bertanya pada dirinya sendiri:"Sudahkan memberikan hak-hak anak sesuai dengan kebutuhannya ?. 

Perlu dicatat bahwa anak itu tidak hanya membutuhkan nama yang baik, makanan sesuai gizi seimbang, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, perlindungan, rekreasi. Anak perlu sentuhan kasih  sayang agar jiwanya tidak gersang dan kosong secara batiniah, sosial, psikologis. 

Selain itu hal yang sering dilupakan adalah masalah literasi bukan hanya kemampuan dan keterampilan tentang baca tulis berhitung (calistung), tetapi juga literasi agama, budaya, hukum, etika, dan saat ini yang diresahkan para orang tua adalah literasi digital.

Orang tua khususnya ibu menjadi orang pertama yang utama mengenalkan literasi digital untuk anak-anaknya. Bahwa anak-anak perlu mempunyai literasi digital memang diakui, sebagai anak milenial harus menguasi. 

Namun literasi digital yang produktif bukan konsumtif, apalagi merugikan masa depannya sendiri (karena kecanduan games) dan lingkungan sosialnya. 

Sebagai orang tua wajib mengenalkan literasi digital sejak dini, namun tetap dalam batasan waktu dan pengawasan yang sudah disepakati. Orang tua bukan berarti harus membelikan gadget untuk anak-anaknya, dan bebas memanfaatkannya.

 Disinilah ketegasan dan panutan orang tua sangat dibutuhkan, artinya ketika orang tua melarang anak-anaknya menggunakan gadget, orang tua juga sedang tidak memanfaatkan gadget. 

Apapun alasanya, apalagi tetap asyik dengan gadget dengan alasan pekerjaan yang sudah "deadline". Ketika orang tua sedang membersamai anak-anak, lepaskan gadget sementara dari genggaman tangan, karena waktu dan kesempatan itu tidak akan terulang lagi. 

Anak-anak  era digital ini juga perlu nasehat, tidak sopan saat berbicara dengan orang tua, pandangannya merunduk melihat layar gadget dan jemari menari diatas keyboard, telinga ditutup earphone. 

Kalau sudah begini teriakan orang tua tidak didengarkan dan diperhatikan. Jadi orang tua yang mempunyai tanggung jawab untuk mengenalkan literasi digital sejak anak masih dalam kandungan, masa tumbuh kembang, bayi, batita, balita, anak usia TK sampai mahasiswa. 

Kalau landasan sejak usia dini sudah kuat, anak-anak era digital tetap piawi memanfaatkan gadget tanpa meninggalkan budaya lokal, agama, etika, dan peradaban lingkungan sosialnya.

Yogyakarta, 25 Juli 2019  Pukul 10.35    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun