Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Manusia Indonesia

Seorang buruh freelance. Suka jelajah tempat hanya untuk menuntaskan keingintahuan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ulat-ulat yang Menggenggam Pisau

13 Agustus 2021   20:33 Diperbarui: 13 Agustus 2021   20:40 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hembusan angin bulan Mei menyisir kulitku, menderma hawa panas mengurung tempatku, mendudukkan pantat seraya selonjorkan kaki, di bawah kotak informasi-kayu panjang berkaca, lembar-lembar koran ditempel agar yang melintas bisa membaca kabar tentang apapun. Awal kemarau sedang meniti takdir. 

Tiga bulan aku non job-menganggur. Itu setelah Koh Lim menawarkan pesangon kepada karyawannya yang mau mengundurkan diri. Ditempuh karena kondisi usahanya sudah berdarah-darah akibat depresi yang melanda negeri ini. Tawaran berbalut racun bagi yang mau. Semua diam. Bakalan menimbulkan Kegoncangan jika kalimat 'Istriku, anakku, ayah di PHK' ditiupkan ke biduk rumah tangga mereka.


"Saya kasih waktu dua hari untuk berpikir. Maaf, saya mengharapkan keputusan ini. Bagi yang menyetujui langsung temui saya", ucapnya.

Waktu dua hari ternyata malah membuat karyawannya bergidik. Seperti menunggu hukuman mati. Guillotine terasah tajam tergambar dibenak hati. Sampai hari H, tidak ada yang mengambil tawaran. Gila apa!

Koh Lim akhirnya mengambil nasib kami.

"Saya mengerti keresahan kalian. Paham, ini pukulan berat. Tapi keputusan harus diambil agar perusahaan tetap bertahan dalam badai"

Jangkar diangkat. Dan aku bagian dari kelompok yang diberi pesangon demi menyelamatkan usahanya. Aku terima. Beberapa rekan terpukul, kekecewaan tergurat dalam. Merasa langit telah runtuh.

Mei memberi pelajaran pada kami kehebatan malaise. Aku tidak tahu kalau pertengahan Mei akan memercikkan huru-hara dengan dahsyat. Jauh sebelumnya, berbagai kelompok mahasiswa ditanah air mendentumkan orasi digelaran demonya. Langit berwarna kelabu bersama ratusan kabar. Jakarta bergolak, terbakar. Para mahasiswa tergabung dalam aktivis pro demokrasi menyalakan tuntutannya. Turunkan Suharto!

Kabar itu cepat tertangkap telinga. Sebuah keputusan brillian, manakala rencana keluar kota aku batalkan. Esoknya, Kamis, 14 Mei, kotaku disengat huru hara. Gelombang panas menyerbu dari barat kota. Menyisir, melibas, mencengkeram apapun. Menjelang pukul tiga sore genderangnya meninggi. Pecahan-pecahan massa meneriakkan vandalisme. Kerusuhan pecah. Jakarta menjadi pemicu bagi kota ini? Atau karena Cendana bersemi disini?. Teriakan-teriakan beringas membumbung tinggi. 

Kemarau mendapat kawan bagi kehancuran. Titik keberingasan merata di wilayah kota. Awalnya hanya provokasi dari beberapa mulut. Dilahap sumbu pendek. Sebuah pos polisi di Sriwedari menjadi sasaran kemarahan. Lambang institusi negara dilempari batu berbalut kebencian. Porak-poranda. Barang-barang dikeluarkan, dibakari ditengah jalan. Massa bergerak(digerakkan?) melampiaskan kedongkolan. Ketertindasan lebih dari tiga dekade menjadi daya ledak yang sungguh hebat. Kotaku coreng moreng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun