Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani, Penulis

People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiga Rahasia Membangun Fondasi Happy Family

14 Mei 2021   16:04 Diperbarui: 14 Mei 2021   16:13 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto keluarga/dokumen pribadi di rumah

Dalam membangun rumah tangga, tidak selamanya mulus atau romantis. Keluarga harmonis, keluarga happy bukan berarti tidak ada masalah. Bisa jadi keluarganya penuh gelombang dahsyat. Bisa jadi pasangan penuh dilema. Namun, mereka bisa melewatinya dengan bijaksana. 

Mungkin pada saat gelombang tsunami terjadi pada keluarganya. Membayangkan menjadi keluarga bahagia atau happy family, sesuatu yang tidak mungkin. Tidak mungkin bukan berarti tidak bisa. 

Membangun keluarga itu nyata, bukan mimpi. Jadi menjadi keluarga bahagia pun akan nyata, bukan mimpi. Kecuali membangun rumah tangga hanya dalam angan-angan dan mimpi belaka. Menjadi keluarga bahagia pun hanya sebuah mimpi.

Dalam buku Happy Family karya Pak Cahyadi Takariawan tertulis bahwa, "Happy family itu nyata. Mungkin data mengatakan 10% keluarga di Indonesia mengalami kegagalan dalam rumah tangga, berarti ada 90% keluarga yang bahagia. Diluar sana ada data 15% dari seluruh pernikahan berujung perpisahan, berarti ada 85% pernikahan yang baik-baik saja."

Dari data tersebut jelas nyata happy family itu ada. Masalahnya kita masuk golongan yang mana? Apa masuk ke dalam 10% atau 90%?

Menjadi happy family tidak datang begitu saja, harus ada usaha dan kerjasama dengan pasangan. Suami salih, istri salih, insya Allah akan menghasilkan anak-anak yang salih. Suami salih akan membantu istrinya menjadi lebih salih. Istri salih akan membantu suaminya menjadi lebih salih.

Pesan Rasulullah kepada para istri, Fanzuri aina anti minhu, agar memperhatikan sikap terhadap suami, sikap yang baik akan melunakkan hati suami. Sikap kasar akan mengeraskan hati suami.

Untuk Membangun Fondasi Happy Family, ada beberapa hal yang mesti dilakukan, saya akan berbagi tiga hal tentang kebahagiaan;

Keluarga Bahagia dan Keluarga Tampak Bahagia

Ketika baru menikah, saya sering disuguhkan pemandangan yang membuat malu. Ketika melewati salah satu rumah, pasangan suami istri memamerkan kemesraan di teras rumahnya. Tidur di pangkuan suaminya, terkadang suami tidur di pangkuan si istri. Mereka bukan pengantin baru, tetapi sudah cukup lama dan memiliki anak. Saya bukan ngiri, hanya malu saja. Sebagai pengantin baru saya tidak bisa melakukan hal demikian.

Apa saya tidak mencintai suami? Atau suami juga tidak mencintai saya? Ini bukan soal cinta, tetapi etika. Baik itu kata suami, mereka tidak beretika. Kalau saya menganggap itu berlebihan bermesraan di depan umum. Namun, jujur saja saya mendoakan untuk kebahagian mereka dan saya berharap kami pasangan baru bisa mesra hingga akhir hayat, walaupun tidak pernah ditampakkan di depan umum.

Kita juga sering disuguhkan postingan para artis yang pamer kemesraan di media sosial. Tiba-tiba mereka bubar. Pencitraan, kenapa kita harus sibuk dengan pencitraan, pura-pura menjadi keluarga bahagia, padahal hati terluka.

Pak Cah mengatakan dalam buku happy family, "Pasangan yang benar-benar bahagia,lebih disibukkan dengan hal-hal nyata yang menjadi ekspresi kebahagian mereka. Saat makan berdua, mereka hanyut oleh kenikmatan suasana makan berdua, saat menjalankan ibadah, mereka hanyut dalam suasana kenikmatan beribadah."

Bahagia itu ada di dalam jiwa, dan inilah yang nyata. Jika kita ingin bahagia, tidak usah basa-basi, mari kita action dengan nyata. Tidak perlu mencari kebahagian di media karena kita akan mendapatkan citra belaka. Mencarilah kebahagian di dasar jiwa, maka yang akan kita dapatkan nyata.

Bahagia dan Mengira Bahagia

Ada kisah, Budi dan Ani berumah tangga sudah 10 tahun. Kehidupannya baik-baik saja. Mereka tidak pernah bertengkar hebat. Sesekali saja berbeda pendapat. Budi seorang suami yang pekerja keras dan jujur. Gajinya pun besar hingga kebutuhan keluarga terpenuhi. Sehari-hari Ani sibuk dengan urusan rumah dan anak-anak. Ani tampak bahagia dengan kegiatannya sebagai ibu rumah tangga. Namun, di balik itu semua, Ani sebetulnya menderita. Ani tidak pernah bercerita tentang kejenuhannya di dalam rumah. Ani pun tidak pernah bercerita tentang kerinduan pada keluarganya. Ani tahu Budi sangat sibuk, sehingga tidak mungkin mengantarkannya menjenguk kedua orang tua. Budi mengira Ani bahagia menjalani hidup berumah tangga bersamanya.

Kisah kedua saya ambil dari buku Happy Family. Bagus tidak pernah tahu bahwa selama ini Ayu, sang istri, tidak pernah merasakan kebahagian dalam hubungan seksual. Lima tahun menikah dan memiliki anak, tetapi sungguh Ayu tidak mengerti kenikmatan dalam hubungan suami istri. Melayani suami adalah kewajiban istri, meski Ayu tidak pernah merasakannya. Namun, Bagus tidak tahu apa yang dirasakan Ayu, Bagus mengira Ayu baik-baik saja, Ayu bahagia hidup dengannya.

Robert Sterberg, mengatakan, Cinta memiliki tiga komponen, yakni passion (hasrat gairah), intimacy (keintiman, kelekatan) dan commitment (komitmen). Apa yang terjadi pada keluarga Budi dan Bagus adalah gambaran cinta yang tidak lengkap. Pasangan mereka menjalani rumah tangga hanya berdasarkan komitmen. Mereka hanya ingin menjadi istri salihah, membahagiakan suami tanpa memikirkan kebahagiannya.

Menurut Sternberg, cinta yang dialami Ayu dan Ani adalah  empty love, alias cinta kosong. "Agar rumah tangga mereka tidak termasuk cinta kosong, mereka harus menghadirkan tiga komponen tadi. Pasangan harus bersama-sama mewujudkan kelekatan, komitmen, hasrat."  

Saya Ingin Bahagia, Maka Tidak Bahagia

Ingin bahagia, itu obsesi sejak kecil. Ketika sekolah bercita-cita lulus dan bahagia mendapatkan pekerjaan. Ketika sudah bekerja, saya ingin bahagia jika menikah, ketika menikah, saya ingin bahagia jika memiliki anak. Dan seterusnya. Saya yakin Anda tidak jauh berbeda dengan saya.

Ketika kuliah, Anda juga membayangkan bahagia jika segera mendapat pekerjaan. Saat menjadi tenaga honorer, Anda membayangkan bahagia jika menjadi Pegawai Negeri Sipil. Kata ingin seolah-olah pada saat itu kita tidak bahagia, tidak pernah merasakan bahagia.

Kata ingin menjadi sekat dalam mencapai kebahagian, "Coba hilangkan kata ingin!" kata Pak Cah dalam bukunya. "Kata ingin adalah ekspekatsi yang tidak terukur. Banyak manusia menetapkan ekspektasi berlebih dalam membangun kebahagian. Mereka terus mencari, mereka terus berharap tanpa henti. Maka bahagia tak pernah mereka temukan. Yang ada hanya ingin bahagia, dan ingin bahagia.

Lantas, di mana letak kebahagian seseorang? (Bersambung)

Salam hangat,

Sri Rohmatiah

Bahan bacaan ; Cahyadi Takariawan, Happy Family, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun