Mohon tunggu...
Sri Raditiningsih
Sri Raditiningsih Mohon Tunggu... Lainnya - Biasa aja

Kita engga akan pernah tahu sebelum kita benar-benar mencobanya bukan? Instagram : @sriradii Twitter : @Sriradii

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Bangku Taman dan Mawar Menjadi Saksi

22 Mei 2020   09:30 Diperbarui: 22 Mei 2020   09:41 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini, kau terbangun dengan kepala berat dan tulang seakan lungkah. Waktu menunjukan pukul sepuluh. Waktu yang tidak bisa disebut pagi tapi juga sulit dikatakan siang. Rasanya kau ingin terus terlelap dalam tidur.

Namun akhirnya kau mencoba mengumpulkan tenaga untuk bangkit meskipun itu sulit. Memaksakan kaki melangkah ke kamar mandi walau sekedar membasuh muka. Berharap hal itu tak hanya membuat matamu terbuka lebih lebar, tapi juga jalan pikiranmu.

Tapi rasanya mustahil, buktinya walau setiap hari kau basuh sekujur tubuhmu dengan air segar tetap saja setiap kali membuka mata, kau masih saja kecewa.

"Kenapa aku masih bisa membuka mata" Mungkin kata itu yang selalu kau ucap setiap pagi.

Padahal kau sangat tahu, harusnya kau bersyukur masih bisa membuka mata. Artinya Tuhan masih memberimu kesempatan untuk memperbaiki hidupmu hari ini. Mungkin di alam lain, banyak yang ingin diberikan kesempatan untuk hidup kembali.

Kau sadar akan itu, tapi tetap saja sulit rasanya untuk mensyukuri hidup yang kau miliki saat ini. Kau nampak seperti mayat hidup.

Tak ada lagi ambisi atau mimpi yang ingin kau raih. Kau mempertanyakan untuk apa kau bermimpi? Kalau pada akhirnya, belum tentu Tuhan mengabulkan segala mimpi indah yang ada dalam anganmu. Tanpa mimpi berarti kau tak akan tersakiti oleh kenyataan yang tuhan berikan bukan?

Sekeras apapun kau mencoba melupakan, nampaknya semua tak ada hasil yang berarti. Lihat saja, tanpa sadar kau datang lagi ke taman ini.

***

Baca juga cerpen : Ibuku Berbeda

Kau mengitari taman seakan sedang mencari seseorang, hingga akhirnya  kau menuju bangku taman. Bangku itu berderit saat kau tumpahkan beban badanmu diatasnya, mungkin jika bisa, kau akan meletakan beban hatimu juga disana. Kau pandangi sekeliling taman, kau perhatikan daun-daun yang berjatuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun