Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Islamofobia di Bali

2 Juli 2016   20:13 Diperbarui: 2 Juli 2016   20:42 2067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kampanye yang bertema Islamofobia di Bali sudah berada pada tahap yang mengkhwatirkan.

Sebagai umat Hindu Bali yang menaruh perhatian besar pada isu – isu rasisme dan diskriminasi agama and etnis baik dalam skala lokal, nasional, dan internasional, saya yang sudah merasa putus asa ingin melihat Bali memiliki seorang pemimpin bijaksana yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan emosional, sangat menyayangkan dan merasa kecewa saat membaca sebuah artikel yang dimuat di media Suara Sulbar yang memuat pernyataan Arya Wedakarna menggunakan kata – kata Dauh Tukad dalam mendeskripsikan umat Muslim saat mengkritisi Maarif Institute yang memberikan Denpasar sebagai predikat kota Islami.

Saya memang bisa memahami  dari kampanye – kampanyenya selama ini yang dalam pengamatan saya menggambarkan seorang pemimpin yang identitas kehinduannya terancam, yang juga merasa frustrasi akibat ketidakadilan dan dominasi beberapa anggota kaum mayoritas, sehingga merasa haus untuk didengarkan dan dianggap sejajar.

Saya juga bisa merasakan bahwa beliau ini dipenuhi kekhawatiran akan supremasi Islam di Bali jika ia tidak berani mengambil sikap tegas sedari sekarang yang salah satu resikonya adalah kemarahan dan kebenciannya terhadap dirinya sendiri oleh karena tidak  melakukan tindakan – tindakan pencegahan saat menemukan momentum yang tepat.

Akan tetapi, di saat yang sama saya juga melihat upaya upayanya yang menggunakan agama untuk mendapatkan dukungan politik dan saat saya mendengar pernyataan ketua MUI yang mengartikan bahwa penolakan masyarakat Bali terhadap konsep Syariah itu didasari oleh kebencian, saya justru khawatir bahwa apa yang dilakukan Arya Wedakarna selama ini bukannya melindungi Bali tetapi malah akan berpotensi menimbulkan pertikaian ras di masa yang akan datang.

Saya melihat bahwa interpretasi ketua MUI saat itu adalah karena memang beliau tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di pulau kami dan apa yang sebenarnya mendorong kami untuk bersikap antipati sebelum kami sempat berdiskusi.

Saya pun menganggap saat Arya Wedakarna menggunakan kata “Dauh Tukad”, beliau sama rasisnya dengan umat – umat beragama lain yang menghina, melecehkan, dan merendahkan agama Hindu saat kita merayakan hari raya Nyepi yang melanggar Undang Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 40 tahun 2008 yang mengatur tentang diskriminasi ras dan etnis.

Maka dari itu dalam kesempatan ini, saya ingin menggunakan pendekatan yang berbeda dengan beberapa contoh yang bisa menjelaskan mengapa umat Hindu memilih lebih berkompromi dan bersikap terbuka pada warga negara asing daripada kaum Muslim yang mengusulkan wisata Syariah sehingga prasangka yang menyatakan bahwa umat Hindu di Bali membenci Muslim bisa ditinjau kembali.

Beberapa tahun lalu, saya melakukan proses transaksi di sebuah Bank BNI Syariah di Jalan gatot Subroto Denpasar. Saya tidak sempat menanyakan untuk mengkonfirmasi bahwa semua staff bank ini adalah kaum Muslim akan tetapi saat saya melihat semua pegawai perempuannya berjilbab dan saya berasumsi bahwa tidak ada seorang pun yang beragama di luar Islam yang bekerja di bank ini.

Nah, saat itu cukup kecewa saat menyadari bagaimana konsep Syariah itu sepertinya hanya merangkul umat Muslim saja jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh investor asing di bawah ini.

Seorang pedagang canang langganan saya bekerja di hotel yang dimiliki oleh seorang investor asing berkewarganegaraan Perancis. Ia memiliki gaya hidup dan kepercayaan yang berbeda yang bahkan memiliki kemungkinan  tidak mempercayai Tuhan atau memeluk agama apapun, akan tetapi setiap bulan ia memberikan jatah sebesar Rp. 1.500.000 untuk pembelian canang setiap hari selama satu bulan dan bahkan untuk upacara – upacara besar lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun